Kisah dari Kota 1001 Goa itu membuat kita teringat, bahwa betapa kebaikan manusia terkadang rentan menjelma jadi arogansi pribadi yang kemudian di aktulisasi dengan rasa ingin menguasai dan penjajahan mental. Lalu bagaimana dengan kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata Pejuang Kemerdekaan RI agar masyarakat Indonesia lepas dari penjajahan Belanda?
Kemerdekaan adalah hadiah yang tak ternilai harganya, buat apa merayakan hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus jika gagal memaknai kemerdekaan dengan memperjuangkan demokrasi dari lingkungan terkecil, keluarga dan lingkungan sekitar kita.
Manusia sudah meyakini bahwa Kebaikan dari manusia adalah sedekah bagi alam, hal itulah yang akan membuat mental orang jawa lepas dari budaya ewuh pakewuh kepada orang yang sudah memberikan kebaikan. Bagi yang sudah memberikan kebaikan, dipertanyakan keikhlasannya ketika sudah bersedekah.
Politik dinasti memang konstitusional, akan tetapi sungguh amoral. Sebab  ada praktik jabatan publik dikuasai oleh sekelompok orang, keluarga atau kerabat bakal menimbulkan sentralisasi kekuasaan dan menghidupkan budaya birokrasi usang peninggalan kolonial Belanda.
Padahal, Indonesia memiliki status sebagai negara berdasarkan UUD 1945 pasal 1 Ayat 3 yang berpilar Demokrasi dan HAM. Fenomena politik dinasti dan oligarkhi telah mengakibatkan birokrasi yang dikorup melalui sistem kekerabatan sebagai sumber feodalisme lalu Demokrasi dan HAM dipinggirkan.
Masyarakat Pacitan sadar sosok SBY memang penting untuk dihormati, kan tetapi sebagai Bapak Demokrasi, SBY tentu sangat ingin demokrasi di tanah kelahirannya tersemai indah dan berwarna warni. Lalu bagaimana cara masyarakat Pacitan lepas dari keterjajahan mentalnya?, hanya waktu yang bisa menjawab. Semoga Pacitan bukan hanya menjadi 'Paradise of Java' tetapi juga 'Paradise of Democracy'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H