Selama kira-kira delapan ribu tahun lebih, kita hidup di dunia yang umumnya bersifat patriarkal (patriarchal) yang berdampak perempuan dianggap tidak mempunyai arti banyak. Perempuan hanya dihargai karena kemampuannya yang khas untuk memberi keturunan dan dukungan sosial yang memenuhi ambisi pria.
Beberapa filsuf Yunani seperti Aristoteles juga lebih cenderung percaya bahwa kaum perempuan itu tidak sempurna dalam beberapa hal. Dia menganggap bahwa perempuan adalah pria yang belum lengkap. Seperti dalam reproduksi, perempuan bersikap pasif dan reseptif sementara pria aktif dan produktif, karena anak hanya mewarisi sifat-sifat pria. Perempuan hanya dianggap sebagai ladang yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah “yang menanam”. Pandangan yang menciptakan ketidakadilan ini juga berasal dari penjajahan dan penindasan yang dikemas rapi dan diwujudkan melalui hubungan antara “yang di atas” dan “yang di bawah”. Hubungan berpasangan yang berelasi hierarkis ini muncul dalam hubungan yang kaya-miskin, pimpinan-staf, orang tua-kaum muda, majikan-buruh, dan sebagainya. Yang di atas dianggap baik sedangkan yang di bawah dianggap kurang baik. Ideologi pasangan ini menciptakan pandangan bahwa pria merupakan kelompok yang di atas (superior) dan perempuan kelompok yang di bawah (inferior).
Pandangan tersebut pada akhirnya rentan menyebabkan berbagai tindak ketidakadilan seperti marginalisasi, stereotip-stereotip, subordinasi, beban ganda dan yang paling sering terjadi adalah kekerasan terhadap wanita. Marginalisasi menempatkan atau menggeser wanita ke pinggiran. Perempuan dicitrakan lemah, kurang atau tidak rasional, kurang atau tidak berani, sehingga tidak pantas atau tidak dapat memimpin. Layaknya di zaman Kartini, perempuan tidak dapat mengenyam pendidikan di sekolah karena anggapan bahwa nasib perempuan hanya akan berujung ‘di dapur' saja nantinya. Bahkan di era globalisasi seperti saat ini masih ada beberapa daerah di negara tertentu seperti Afrika yang kaum perempuan nya sama sekali tidak menerima pendidikan.
Stereotip yakni pembakuan diskriminatif antara perempuan dan pria. Ia lemah sehingga hanya bisa berstatus “pendamping” suami saja. Dalam era Orde Baru, stereotip itu sangat nyata. Jabatan menteri dalam Kabinet Orde Baru, diberikan kepada perempuan berdasarkan kepantasannya bukan kemampuannya seperti Menteri Sosial dan Menteri Urusan Peranan Wanita. Dalam politik, kaum perempuan terlalu sering diperlakukan sebagai beban daripada aset. Pada tahun 1990,kurang dari 10% anggota legislatif adalah perempuan, dan bagi setiap100 posisi tingkat menteri di seluruh dunia hanya lima diisi oleh kaum perempuan.
Sedangkan kekerasan terhadap perempuan terjadi di seluruh dunia, di setiap negara, sering oleh seseorang yang dekat dengan mereka. Di Kanada 10% kaum perempuan melaporkan bahwa mereka dipukul di rumah oleh pria yang tinggal dengan mereka, dan di Amerika Serikat setiap tahunnya tercatat hampir 2juta perempuan dipukul di rumah mereka sendiri. Dalam beberapa survey seperti,”Laporan Etika Kaum Perempuan Baru”, pelecehan istri menjadi nomor 1 dari 15 persolan/keprihatinan yang paling menekan yang dihadapi masyarakat saat ini.
Pekerjaan kaum perempuan juga lebih terbatas dan lebih sempit daripada kaum pria. Kasir bank dan sekretaris kebanyakan wanita. Pekerjaan yang didefenisikan sebagai pekerjaan perempuan sebagian menghasilkan penghasilan yang lebih rendah, status rendah,dan sedikit keamanan sehingga dapat digambarkan sebagai “pekerjaan minoritas” (jobghettos).
John Locke berpendapat bahwa anggapan kaum wanita lebih lemah dibanding pria hanyalah buatan manusia (man made). Oleh karenanya anggapan tersebut bisa diubah. Sejalan dengan pendapat John Locke tersebut, Plato berpendapat bahwa kaum perempuan bisa memerintah sama efektifnya dengan kaum pria karena alasan sederhana, bahwa pemimpin mengatur negara berdasarkan “akal” mereka. Kaum perempuan memiliki penalaran yang sama persis dengan kaum pria, asalkan mereka mendapat pelatihan yang sama dan dibebaskan dari kewajiban membesarkan dan mengurusi rumah tangga.
Di zaman komunal primitif, perempuanlah yang menjadi kepala keluarga serta memiliki peranan penting dalam usaha pertahanan hidup. Pada zaman tersebut, perempuan yang menemukancara bercocok tanam sehingga mereka menjadi tulang punggung keluarga. Dan bila dibandingkan dengan zaman sekarang ini bisa dikatakan hasilnya juga sama. Tak jarang ditemukan saat ini perempuan menjadi penyokong hidup keluarganya menggantikan posisi suami mereka. Sebagai contoh, MS, seorang buruh cuci, menjadi tulang punggung keluarganya setahun sejak pernikahannya dengan suaminya. Setiap hari ia harus berangkat menuju rumah majikannya pukul7 pagi. Ia menjadi buruh cuci di 3 rumah yang berbeda setiap harinya. Namun tak hanya itu di siang harinya, ia bersama dengan anak-anaknya bekerja sebagai buruh pembersih kulit bawang di juragan bawang. Saat ini mau tidak mau ia harus membiayai hidup ketiga anaknya bahkan juga suaminya, dikarenakan suaminya yang pemalas dan tidak bertanggung-jawab. Saat ia memprotes tingkah laku suaminya,si suami malah menghadiahkan “bogem mentah” kepadanya dengan alibi dialah si kaum superior sehingga tidak bisa diberi kritikan.
Di zaman modern seperti saat ini, pandangan yang menempatkan perempuan di bawah posisi pria memang sudah berubah sedikit demi sedikit, walau tak dapat dipungkiri atau tanpa disadari masih laten di masyarakat. Kita tidak perlu kembali ke zaman komunal primitif untuk dapat membuktikan bahwa perempuan bisa melakukan apa yang dilakukan pria di zaman sekarang (menjadi pemimpin). Pria punya arti banyak, demikian juga perempuan, namun arti tersebut bergantung pada apa yang sudah dilakukannya sebagai seorang manusia kepada Tuhannya, dirinya sendiri dan juga orang lain. Tak perlu memilih siapa yang di atas dan siapa yang di bawah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H