Pembelajaran abad 21 merupakan suatu peralihan pembelajaran dimana kurikulum yang dikembangkan menuntun sekolah untuk mengubah pendekatan pembelajaran dari Teacher Centred menjadi Student Centered. Hal ini sesuai dengan tuntutan masa depan dimana peserta didik harus memiliki kecakapan berpikir dan belajar.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan guna mencapai pendidikan Abad 21 adalah dengan menerapkan "Design Thinking" pada Inovasi pembelajaran. Awalnya design thinking diterapkan oleh para desainer dalam menciptakan produk dengan pendekatan human oriented namun dalam perkembangannya design thinking digunakan dalam bidang lain seperti di dalam pendidikan.Â
Design Thinking merupakan sebuah metodologi, juga sebuah pola pikir, untuk memunculkan potensi kreatif yang ada dalam diri setiap orang. Metodologi Design Thinking umumnya terdiri dari ruang-ruang "inspirasi" (mengeksplorasi masalah dan mengembangkan pemahaman terhadap pengguna), "ideasi" (mengeksplorasi dan menguji solusi), serta "implementasi" (menerapkan dan mengembangkan solusi secara kontekstual), seperti disampaikan oleh Tim Brown (2008).Â
Dengan Design Thinking proses pembelajaran akan melibatkan peserta didik dalam pembentukan pengetahuan, keterampilan secara autentik dan menyenangkan, serta membantu peserta didik dalam pengembangan gagasan-gagasan berbasis aksi.
Design Thinking sendiri memiliki beberapa fase, diantaranya adalah fase Define (Merumuskan Tujuan) Teknik perumusan tujuan dalam Design Thinking juga menggunakan prinsip empatis; di mana pengguna dan aspirasi/kebutuhannya dinyatakan secara spesifik dalam rumusan.Â
Misalnya: "Bagaimana kita bisa merancang bangku sekolah yang nyaman (pengalaman pengguna) bagi anak-anak Sekolah Dasar (pengguna), sehingga mereka dapat berkonsentrasi lebih lama (tujuan spesifik) dalam kegiatan belajar di kelas?".Â
Melalui fase define tersebut memudahkan guru dalam merancang media pembelajaran yang efektif dan efisien bagi peserta didik. Karena dalam fase define tersebut secara langsung guru melibatkan peserta didik dalam merancang suatu media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Dalam praktik pembelajaran sudah pasti terdapat bermacam-macam karakteristik peserta didik, oleh karena itu dengan menggunkan fase Define dalam dunia Pendidikan, semakin memudah guru dalam merancang suatu pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Selama fase Define, guru mengumpulkan informasi yang telah dibuat dan kumpulkan selama tahap Empathise. Disinilah guru akan menganalisis pengamatan dan mensistesisnya untuk menentukan masalah inti yang telah diidentifikasi. Guru harus berusaha menidentifikasi masalah sebagai pernyataan masalah dengan cara yang berpusat pada peserta didik.Â
Pada fase Define ini akan membantu para guru untuk mengumpulkan ide-ide hebat untuk membangun fitur, fungsi, dan elemen lain yang akan memungkinkan mereka untuk menyelesaikan masalah atau, paling tidak, memungkinkan pengguna untuk menyelesaikan masalah sendiri dengan tingkat kesulitan minimal.
Sebagai ilustrasi, dalam pembelajaran matematika, sudah barang tentu pemahaman peserta didik sangat beragam, ada yang sudah mencapai KKM ada yang masih jauh tertinggal.Â