Mohon tunggu...
Devi Diany
Devi Diany Mohon Tunggu... Jurnalis - padangdaily.com

Penulis, Jurnalis dan Advokat, tinggal di Padang

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menyorot Proses Persidangan Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum

12 Juni 2024   18:17 Diperbarui: 12 Juni 2024   21:55 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua orang tentu tahu, masalah hukum itu bahkan diproses dan berujung ke pengadilan, tidak hanya melibatkan para laki-laki, tetapi juga perempuan baik sebagai pelaku tindak pidana, sebagai korban, saksi maupun sebagai pihak (dalam perkara perdata).

Meski tersangkut masalah hukum, namun hakim yang menyidangkan khusus perempuan yang berhadapan dengan hukum tidak sama seperti hakim yang menyidangkan pelaku/korban/saksi laki-laki. Ada rambu-rambu yang harus dipedomani hakim.

Rambu-rambu yang menjadi kode etik bagi hakim itu tertuang dalam Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Hakim harus memahami asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum ketika mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum.

Bahkan Pasal 5 Perma No. 3 Tahun 2017 dengan tegas menyatakan hakim tidak boleh melakukan 4 hal ini ketika memeriksa perkara perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) yaitu:

  • Menunjukan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/ atau mengintimidasi Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
  • Membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender.
  • Mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku.
  • Mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung streotipe gender.

Dengan adanya Perma No. 3 tahun 2017 tersebut, tentunya tak ada alasan bagi hakim yang menyidangkan perkara perempuan berhadapan dengan hukum untuk berdalih dan tidak menerapkannya. Tidak ada pembenaran atas perbuatan seorang hakim yang tidak melindungi harkat dan martabat perempuan yang berhadapan dengan hukum.

Memutus Berdasar Keyakinan Hakim

Salah seorang hakim pada Pengadilan Negeri Padang, Anton Rizal Setiawan, SH, MH berbagi kisah persidangan perempuan yang berhadapan dengan hukum. Diakuinya, dalam perkara asusila sangat sedikit bukti yang dapat diajukan di persidangan. Sebab perbuatan asusila terjadi pada umumnya hanya diketahui oleh para pelaku dan korban.

Kendati ada saksi dari perbuatan asusila itu, misalnya saksi tetapi anak bawah umur 15 tahun, maka si anak tidak akan disumpah saat memberikan keterangan. Padahal keterangan saksi memiliki peranan penting dan menjadi salah satu alat bukti bagi hakim dalam pembuktian suatu tindak pidana.

"Untuk menentukan nilai pembuktian dari keterangan saksi ini, maka saksi wajib di sumpah sebelum memberikan keterangan. Tetapi anak saksi yang usianya di bawah 15 tahun tidak perlu di sumpah," katanya.

Dalam hal ini, lanjutnya, keterangan anak ini tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga keterangan yang mereka sampaikan di muka persidangan hanya sebagai petunjuk saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun