Rumah merupakan kebutuhan primer setiap manusia yang mana peranan utamanya adalah sebagai tempat berlindung. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, BAB I Pasal 1 Butir 7 menyatakan bahwa rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dapat disebut sebagai rumah adalah yang berkategori layak huni.
Padahal, faktanya tidak demikian. Sebagai negara berkembang, Indonesia masih memiliki banyak masalah yang timbul baik itu dari aspek fisiografis dan aspek kependudukan. Salah satu masalah yang dapat dijadikan fokus utama yaitu masalah rumah tak layak huni atau biasa dikenal dengan rumah kumuh.
Kumpulan rumah-rumah kumuh yang berada dalam satu kawasan yang sama disebut dengan perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Biasanya, mereka terdiri dari masyarakat dengan ekonomi kebawah dan merupakan urban dari desa. Adanya urbanisasi masyarakat desa ke kota diakibatkan oleh faktor penarik kota yang standar hidupnya dipandang tinggi sehingga masyarakat desa tersebut berupaya untuk meningkatkan kualitas hidupnya di kota. Namun, dengan keterampilan dan pengetahuan yang terbatas mereka tidak mampu memenuhi standar hidupnya, termasuk untuk membeli rumah yang layak huni. Dari hal ini, timbulah masalah kemiskinan di perkotaan. Di samping itu, harga tanah dan perumahan layak huni yang terbatas mengakibatkan lonjakan harga perumahan yang tinggi. Akhirnya, mereka memilih untuk menempati perumahan dan permukiman kumuh yang padat. Perumahan dan permukiman kumuh tersebut tidak dilengkapi dengan fasilitas publik yang baik, masalah lingkungan yang buruk, dan bangunan rumah yang tidak memenuhi standar rumah sehat. Akibatnya, munculah masalah baru seperti penularan penyakit dan pola hidup yang buruk.
Masalah permukiman dan perumahan kumuh tersebut menggerakkan perhatian pemerintah pusat dan daerah untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu usaha pemerintah yaitu dengan memberikan bantuan subsidi untuk perumahan layak huni. Bantuan subsidi tersebut diresmikan dalam program FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan ) KPR Sejahtera. Program ini dikhususkan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Pada tahun 2019, Apersi Jatim (Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia Jawa Timur) telah menargetkan sekitar 20,000 lebih unit rumah dengan bantuan subsidi. Banyaknya pembangunan rumah bersubsidi tersebut dikarenakan permintaan masyarakat yang tinggi serta untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Jawa Timur. Daerah-daerah dengan potensi tersebut yaitu Banyuwangi, Kediri, Probolinggo, Blitar, Jember, dll.
Namun, dalam pelaksanaannya ada beberapa kendala yang dihadapi. Pertama, yaitu kendala perizinan yang sulit dari segi lingkungan (faktor masyarakat sekitar). Permintaan warga yang cenderung aneh-aneh dan terkadang tidak wajar membuat perundingan antarwarga dan pengembang memakan waktu yang cukup lama. Disamping itu, beberapa pemerintah daerah yang kurang responsif terhadap pengajuan permohonan perizinan juga merupakan faktor lainnya.
Kedua, banyak unit rumah bersubsidi yang terancam mangkrak karena kreditnya tidak dapat direalisasikan, padahal unit tersebut sudah selesai dibangun pengembang. Hal tersebut terjadi lantaran terbatasnya kuota FLPP. Hingga pertengahan tahun 2020 lalu, menurut Himperra Jatim (Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat Jawa Timur), dari total target 10.000 rumah subsidi tahun ini, yang dapat terealisasi hanya 20%. Kondisi ini turun drastis dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data, mayoritas pembeli yang pada akhirnya bisa merealisasikan kredit rumah bersubsidi ini adalah dari kalangan ASN dan TNI-Polri. Sedangkan kalangan lain, seperti pekerja swasta dan pekerja kontrak masih kesulitan dalam realisasi kredit. Alasan dari sulitnya perealisasian kredit tersebut karena keterbatasan kuota LSPP dan pihak perbankan yang sangat selektif dalam penyalurannya, terlebih di tengah pandemi Covid-19 sejak bulan Maret lalu. Akibatnya, banyak masyarakat yang kesulitan untuk mendapat perumahan bersubsidi yang layak huni. Di samping itu, penjualan rumah tahun ini menurun drastis dari yang sebelumnya terus meningkat. Diprediksi hal ini terjadi karena memang faktor perekonomian masyarakat dan negara yang menurun tajam
Dengan adanya dua kendala tersebut, dapat terlihat bahwa program LSPP belum sepenuhnya merata. Pihak pengembang yang telah siap dengan pembangunan rumah subsidi tidak sinkron dengan terhambatnya realisasi kredit dari perbankan. Untuk itu, perlu adanya peninjauan kembali antara pusat dengan daerah untuk menyelesaikan dan mengatasi masalah pengkreditan untuk rumah bersubsidi sehingga program tersebut dapat menjangkau MBR dengan luas dan kualitas perumahan di Indonesia khususnya Jawa Timur meningkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H