Mohon tunggu...
Devfanny Artha
Devfanny Artha Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Peace Lover

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dilematis Pembuatan Skripsi

8 Juni 2011   17:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:43 1377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Orang tua mana yang tidak akan bangga melihat anaknya mengenakan toga di kepala dengan rumbaian yang sudah berada di sisi kanan toga. Momentum tersebut pasti diabadikan dengan media foto, kemudian dicetak dengan ukuran yang cukup besar, dibingkai, dan dipajang di ruang tamu, sebagai informasi bahwa anaknya telah sukses menjadi seorang sarjana. Tapi tunggu dulu, momen haru itu bukanlah barang yang mudah didapat. Begitu panjang dan terjal jalan yang harus dilaluinya. Sebelum foto wisuda terpampang dan satuan kredit semester terpenuhi selama perkuliahan, tibalah saatnya seorang mahasiswa harus berjuang ekstra menyelesaikan tugas akhir yang menjadi simbol kelulusan jenjang pendidikan Strata Satu (S1).

Ya, tugas akhir itu dikenal dengan nama skripsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2005, Skripsi adalah; karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan akademisnya. Buat sebagian mahasiswa, skripsi adalah sesuatu yang lumrah. Tetapi buat sebagian mahasiswa yang lain, skripsi bisa jadi momok yang terus menghantui dan menjadi mimpi buruk. Banyak juga yang berujar “lebih baik sakit gigi daripada bikin skripsi”.

Skripsi hingga saat ini dikenal sebagai wujud karya ilmiah seorang mahasiswa, sekaligus sebagai wujud pertanggungjawaban hasil studi selama mahasiswa menempuh kuliah. Hingga saat ini pun, skripsi masih menjadi tolok ukur lulus atau tidaknya seorang mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjana. Menurut Dra. Askariani Kartono, M. Si, ketua program ekstensi Departemen Komunikasi Universitas Indonesia pembuatan skripsi membantu mahasiswa untuk bisa berpikir logis dan sistematis. “Tujuan dari diterapkannya ketentuan itu supaya mahasiswa yang sudah menuntut ilmu dari semester pertama hingga akhir bisa menerapkan langsung ilmu, materi, dan teori yang didapatkan selama kuliah,” katanya menambahkan.

Ironisnya, seiring berjalannya waktu, skripsi ternyata bisa dikatakan tidak lagi sebuah wujud karya ilmiah atau wujud pertanggungjawaban hasil studi mahasiswa. Kenapa demikian? Jawabannya sederhana saja, karena saat ini sudah banyak karya skripsi yang tidak orisinil, bahkan cenderung menjiplak/plagiat dari skripsi pendahulunya, atau bahkan melakukan plagiat skripsi dari universitas lain.  Selain itu, banyaknya jasa pembuatan skripsi mulai dari jasa konsultasi, jasa pengkodingan, hingga pembuatan skripsi terima jadi, menjadikan skripsi seakan menjadi sebuah barang dagangan yang bisa dengan mudah diwujudkan asal mahasiswa memiliki uang. Lalu, masih layakkah skripsi disebut sebagai sebuah karya ilmiah seorang mahasiswa? Masih layakkah skripsi digunakan sebagai syarat bagi mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjana?

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Cauzsa (22) mahasiswa komunikasi UI,. Ia mengatakan bahwa pada masa sekarang ini keotentikan skripsi patut dipertanyakan. Mulai dari bagaimana mahasiswa/i menjalankan proses pengerjaan skripsi yang seharusnya diberikan pengarahan dulu dari dosen pembimbing yang bersangkutan. “apa yang kita teliti, belum berarti kita akan dalami nantinya di dunia kerja,” ujarnya melanjutkan. Dari pengertian di atas, dalam konsep kekinian, makna skripsi sebagai karangan ilmiah rasanya menjadi sebuah utopia (jauh dari kenyataan). Jika kita argumentasikan, maka skripsi bukan lagi karangan ilmiah. Apalagi dalam studi ilmu sosial. Skripsi kini adalah sebuah karangan yang benar-benarngarang, disusun menggunakan metodecopy-paste,validitas datanya tak mampu mewakili jawaban masyarakat, dan tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.

Jadikan skripsimu bermanfaat

Berhubung skripsi masih dijadikan standar kelulusan bagi mahasiswa di Indonesia, maka rasanya tidak bijak jika membicarakan polemik ini tanpa memberikan solusinya. Begitu banyak solusi yang bisa dibicarakan bersama oleh berbagai pihak. Salah satu bentuk solusi supaya manfaat skripsi betul-betul terasa baik bagi si peneliti, bagi institusi, dan bagi masyarakat sekitar adalah dengan menerapkan implementasi yang baik dan benar tentang skripsi yang akan dibuat. Mungkin cara berpikir seperti ini terlalu praktis, tapi inilah kenyatannya. Faktanya jumlah pengangguran terdidik di Indonesia mencapai 50,3 persen. Jumlah ini mengerikan mengingat betapa malangnya nasib seseorang yang telah susah payah mengenyam pendidikan dengan biaya yang tidak bisa dikatakan sedikit dan pengorbanan yang tidak bisa dikatakan mudah harus menerima nasibnya sebagai pengangguran.

Masalah paling dasar sebenarnya adalah masalah publikasi. Bagaimana masyarakat bisa tahu dan mengerti tentang apa yang kita teliti jika karya ilmiah yang kita sebut sebagai skripsi itu tidak dipublikasikan. Dengan demikian, kerja sama dengan berbagai perusahaan dan institusi terkait merupakan salah satu kebijakan yang bisa diterapkan. Dosen termuda FMIPA UI, Pietradewi juga mengatakan hal yang senada, “ya seharusnya sih begitu. Kalau bidang kesehatan ya kerja sama dengan perusahaan obat atau Depkes. Ya kalau di bidang komunikasi ya bekerja sama dengan media supaya nanti hasil penelitiannya dipublikasikan jadi banyak orang yang tahu,” katanya. Menurutnya saat ini dari keseluruhan jumlah skripsi yang dibuat oleh mahasiswa dalam setahun hanya sekitar 20% nyasaja yang bisa dirasakan langsung manfaatnya. “Kalau kita lihat berita di internet ya saat ini udah banyak penelitian-penelitian dari kampus di luar negeri yang dipublikasikan sehingga kita jadi banyak tahu hal baru. Contoh penelitian yang saya pernah baca: Resep Panjang Umur, Manfaat Lain Buah Apel, dan masih banyak lagi yang lainnya,” lanjutnya.

Solusi lain ditawarkan oleh Sudarma Sopian, senior editor buku di salah satu penerbit ini mengatakan bahwa ia kurang setuju jika skripsi dijadikan sebagai parameter kelulusan mahasiswa. Ia juga menambahkan bahwa akibat kurangnya sosialisasi terhadap hasil penelitian skripsi, banyak masyarakat yang tidak tahu dan akhirnya skripsi seolah hanya sebagai persyaratan kelulusan saja. “Skripsi pernah digunakan sebagai inspirasi tema untuk pembuatan buku komputer namun dengan output yang berbeda,”tuturnya. Jika solusi ini dijalankan maka bisa dibayangkan berapa banyak keuntungan yang sama-sama bisa diperoleh. Peneliti alias si mahasiswa penyusun skripsi bisa memberikan data-data guna penyusunan isi dari buku tersebut. Apabila telah sampai di tangan masyarakat, maka data tadi akan berubah menjadi ilmu yang berguna. Sebagai bagian dari penulis buku, mahasiswa tadi bisa mendapatkan keuntungan berupa royalti dari buku yang terjual. Bagi penerbit tentu juga akan menghasilkan keuntungan tersendiri.

Berbagai solusi yang ditawarkan tentunya memiliki hambatan dan kendala tersendiri. Tapi hal ini bisa dijadikan pertimbangan untuk mengkaji ulang mengenai sistem kelulusan bagi seorang mahasiswa untuk memperoleh gelar sarjana.Toh, tidak penah ada undang-undang atau aturan terikat dari Kemendiknas mengenai hal ini. Daripada ironi ini terus diratapi, lebih baik jika hal ini disosialisasikan dan mulai dibenahi. Jadi, siapa yang berminat untuk menyusun skripsi dengan judul “Masihkah Layak Skripsi Jadi Syarat Kelulusan”?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun