Mohon tunggu...
Devfanny Artha
Devfanny Artha Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Peace Lover

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Indonesia Hampir Punah

4 Juli 2011   08:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:57 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_120515" align="alignright" width="268" caption="Kenali Negaramu, Cintai Bahasanya! "]

1309767636928246869
1309767636928246869
[/caption]

Tulisan ini terinspirasi ketika saya sedang menunggu kereta di Stasiun Sudirman Kamis petang. Kemarin hari Kamis, hari terakhir di bulan Juni 2011 adalah hari pertama diluncurkannya jadwal baru kereta Commuter Line di seluruh Jabodetabek. Intinya, kebijakan ini menghapus adanya kereta Express yang hanya berhenti di beberapa stasiun saja. Seluruh kereta Jabodetabek jadi hanya ada dua jenis, Ekonomi dan Commuter Line.

Commuter Line? Ngerti apa artinya? Jujur, saya aja enggak tahu awalnya. Kata Commuter Line ini terus-terusan diucapkan berkali-kali oleh petugas yang memberikan informasi selama kurang lebih satu setengah jam saya berada di stasiun. Akhirnya, kata-kata ini terus berdengung di kepala saya. Commuter Line..Commuter Line..Commuter Line..lalu saya ingat sesuatu. Saya ingat kalau bangsa kita ini sangat miskin kosakata. Kita suka sekali ngomong pakai istilah bahasa Inggris. Bahkan lebih Inggris dari orang Inggris sekalipun. Lantas saya jadi teringat ketika dulu internet pertama kali mengisi kehidupan kita sehari-hari. Dulu mana kenal kita dengan kata “unggah” dan “unduh”. Kita lebih kenal upload, download, browsing, website, networking, dan masih banyak lagi istilah yang kita lebih familiar ketika dilafalkan dalam bahasa inggris ketimbang dalam bahasa kita sendiri, ya bahasa Indonesia. (tuh buktinya penulis aja nulis kata familiar yang jelas-jelas bukan bahasa)

Sudah banyak pakar bahasa dan ahli semiotika yang berbicara masalah ini. Pasalnya, jika dibiarkan saya yakin tidak sampai seperempat abad ke depan bahasa nasional kita bisa berubah menjadi bahasa Inggris. Ya memang, di era awal tahun 90-an kita menjadi lebih keren dan bergengsi kalau ngomong dicampur dengan bahasa Inggris, apalagi jika ditambah dengan aksen yang kebule-bulean. Namun, kadang saya berpikir sampai kapan kita akan terus-terusan bangga dengan bahasa negara lain dan membiarkan bahasa sendiri tergerus oleh peradaban. Saya jadi ingat kata-kata guru saya saat saya masih duduk di bangku sekolah, kalau sebenarnya ada baiknya pengejaan bahasa kita yang zaman dahulu seperti “doeloe untuk dulu”, “jang untuk yang”, “tjinta untuk cinta”, dan sebagainya. Bahasa kita saat itu jadi punya ciri dalam penulisan dan pengejaannya.

Sepemikiran bodoh saya, kenapa sih kita tidak langsung menerjemahkan dan mencari pengganti kata baru untuk setiap istilah yang baru keluar di masyarakat? Setau saya, di Jepang McDonald boleh ada asal namanya diubah menjadi bahasa Jepang. Di Korea juga begitu. Rasa nasionalisme mereka begitu tinggi terhadap bahasanya karena mereka tidak mau begitu saja terbuai oleh arus globalisasi. Indonesia? Entah kapan baru akan timbul kesadaran akan hal ini. Kembali ke masalah Commuter Line, kenapa sih harus pakai istilah itu? Apa tidak bisa dibuat istilah “KRL Lintas Jabodetabek”? Malu? Kurang bergengsi? Atau kenapa sih? Jujur saya gak ngerti dan gak habis pikir. Kalau diingat-ingat padahal kita bukan negara jajahan Inggris lho tapi kenapa kita seolah tak bisa lepas dari budayanya yang sangat kuat dalam hal bahasa. Lantas ada yang berkilah, “ah susah mencari padanan katanya yang pas!”. Ini juga lucu. Kalau memang susah, ya cukup penulisannya diubah ke dalam bentuk bahasa Indonesia. Sebagai contoh: lampu sen itu kan dari kata “sign” yang juga dari bahasa Inggris. Trotoar dari bahasa Perancis “trotoir” yang jka dilafalkan dalam bahasa Perancis akan menjadi “trotoar” maka diserap oleh bahasa kita menjadi kata “trotoar” yang penulisan dan pelafalannya sama. Mudah kan? Saya sebagai pribadi yang tidak terlalu menguasai urusan perbahasaan hanya merasa prihatin dan sedih kalau sampai bahasa kita lama-lama habis kosakatanya dan tergantikan oleh bahasa asing. Padahal bahasa ini urusannya erat dengan identitas bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun