Mohon tunggu...
Devdan Dewa
Devdan Dewa Mohon Tunggu... Administrasi - Akademisi

Akademisi dan penulis lepas yang mendikasikan diri pada kalimat yang bebas tanpa harus dibatasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dengan Hati

4 April 2014   02:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku bisa saja berbelok menyilang arah. Aku bisa entah kapan berlari dan tersesat. Dan aku dengan mudah dapat merangkul yang salah. Tapi tak kau lihatkah dimana aku berada? Dengan siapa aku tertawa bersama. Saling menggenggam erat bersahabat. Mengembangkan keceriaan yang tersirat. Merasa bebas. Tapi bukan tak terkendali.

Namun tak juga hanya membuang masa. Menyisakan penyesalan dimasa tua - itu bukan gayaku. Dan kau tahu itu. Melihat cahaya harapan didalam kedua bola yang redup. Lalu mengisinya dengan seberkas impian. Impian yang mungkin hanya sekedar angan. Tapi tak mengapa karena dari satu mimpi kami bermula. Membuat harapan terakhir itu menjadi nyata. Meski terkadang harapan itu harus kandas. Terkubur bersama air mata kesedihan dan kenangan yang tak dapat dilupakan.

Tapi kami hanya manusia. Yang selayaknya berencana. Lalu biarkan lah kami menyeka tagis yang mengema cukup lama. Dan mulai mengembara diantara mereka yang juga bernasib sama. Masih kaburkah pandangan mu? Masih tak terlihatkah karena matamu terselimut kabut kelabu? Maka raih tanganku. Rasakan apa yang tak dapat kau lihat dengan kedua matamu. Rasakan kataku.

Maka kau akan tahu dimana tanah yang ku pijak kini. Dataran yang tak rata dari bumi yang menenggelamkanmu dengan harta. Dunia yang hanya berisi keambisian yang hampa. Cara yang sebenarnya berbeda dari kebanyakan orang kini ku lakukan. Saat ini ku belajar. Bahwa dunia bukan tentang harta. Dunia bukan bagaimana kita tersenyum bersama kesombongan dengan apa yang kita punya. Dan juga bukan tentang kebohongan yang menjelma.

Ini adalah dunia milik kita termasuk kau dan aku. Yang layak untuk diperjuangkan. Yang layak bertindak dengan hati. Kecintaan. Meski terkadang logika mengambil alih. Dan ini juga dunia yang tak hanya berisi sejumput manusia. Ini dunia yang ramai dengan sesama. Sesama yang juga tak semua bernasib sama. Lalu tak ingin kah engkau merangkul mereka dalam satu jalinan yang ada. Karena kau pun mengerti bagaimana kita tak akan pernah dapat hidup tanpa mereka. Jika kau kata ya. Hidupmu hampa penuh kesendirian yang menyudutkan.

Karenanya meski berulang kali kau cegah. Meski berulang kau berkata tidak. Aku jadi semakin ingin. Aku jadi semakin jauh lebih ingin bersama mereka. Mereka yang meletakkan kecintaan mereka pada sesama. Meski terkadang aku harus bergulat dengan waktu atau sesekali beradu mulut dengan mu. Aku tetap berada di sisi mereka. Karena disini aku temukan duniaku. Dunia yang penuh kehangatan. Kehangatan yang ku sebut rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun