Mohon tunggu...
Devdan Dewa
Devdan Dewa Mohon Tunggu... Administrasi - Akademisi

Akademisi dan penulis lepas yang mendikasikan diri pada kalimat yang bebas tanpa harus dibatasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Manusia: Tak Habis Dibahas

11 Agustus 2014   14:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:51 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebuah kehidupan selalu ada dengan tujuan. Dengan niat yang telah ditentukan bahkan sebelum kita terlahir. Entah oleh siapa dan mengapa? Tapi manusia tak akan pernah berhenti mencari arti. Arti yang telah memudar tergerus oleh keinginan dan rasa tahu. Terlewat dan terus menurun ke generasi baru membawa begitu banyak jawaban. Tapi tak seutuhnya.

Dan entah mengapa dunia pun mulai berubah. Menggiring manusia ke masa-masa yang semakin sulit dipahami. Menebar aroma yang menusuk hidung. Aroma kengerian masa depan. Tapi mereka justru terlihat asyik dengan ini. Dengan hal monoton yang mengganggu pandang. Hidup yang berbagi kepalsuan terasa begitu menyenangkan saat ini. Tak ku pahami.

Mereka sepertinya bergerak karena arus. Karena sebuah jalan yang entah kemana akan dituju. Berjalan sesuai nurani yang teracuni. Mungkin ini pilihan dimasa ini. Cara yang aneh untuk sekedar dapat melihat mentari senja esok hari. Mungkin kah ini pilihan?

Mau pilih yang mana ?

Setiap orang selalu benci pilihan, lebih benci lagi jika kita tidak memiliki pilihan sama sekali. Bagaimanapun pilihan selalu saja diambil sebagai arti tindakan tegas. Lalu. Jika apa yang telah kita putuskan itu tidak berjalan dengan baik, terkadang kita terlihat menjadi orang yang terlalu dewasa. Berkata bahwa ini semua adalah kehendak Tuhan. Tahu dari mana? Mengikhlaskan segala daya dan upaya yang telah dilakukan dimasa lampau. Sambil meratapi kesalahan didalam hati. Penyesalan.

Hasil akhir yang sesumbar keluar dari bibir si renta karena semua tak seperti yang dikira. Dan menjadikannya sebagai wejangan terbaik untuk si muda. Niatnya agar ia tak juga terperdaya. Oleh pilihan yang pada akhirnya hanya berakhir cerita lara dimasa tua. Tapi yang muda kini tak lagi menganggap itu sebagai bagian dari pepatah yang tua. Hanya berlalu dengan anggukan hingga hal yang serupa juga menjadi miliknnya. Lalu menurun menjadi tradisi yang samar.

“Dulu” dan “Sekarang” hanya beda cara.

Kita ini juga makhluk yang terlampau rumit dimengerti. Walau katanya akal-lah yang menjadikan kita raja di planet ini. Dan akal-lah yang membuat kita berbeda dari segala jenis kehidupan dibumi. Tapi justru kelebihan yang hanya milik kita ini. Yang membuat manusia menjadi makhluk yang terlalu logis dan semakin sulit dipahami. Semuanya tak seperti yang terlihat.

Karena evolusi yang sesungguhnya adalah perubahan dari naluri menjadi logika. Terlihat sangat jauh berbeda tapi pada hakikatnya memiliki cara kerja yang sama. Untuk apa? Bertahan hidup tentunya. Karena rimba telah tiada berganti metropolitan yang penuh cahaya. Meski dalam gelap.

Sebab hukum rimba tak mati seutuhnya hanya bertransformasi kata. Dan yang kuat selalu rela menjadi penindas yang lemah. Brutal. Terlalu liarkah jika aku menggunakan kata itu? Untuk mewakili perubahan tabiat manusia yang menjadi. Karena ini sudah bukan lagi untuk sekedar mempertahankan diri. Tapi siapa yang memegang kendali? Kendali yang tak terlihat lagi dimana pusatnya. Karena semua telah tercampur berbaur dengan apik diantara mata awam sekalipun. Lalu terlontar kalimat bahwa ini adalah hal yang biasa.

Biasa karena kita telah terbiasa terbudak dengan cara yang salah. Lalu menelantarkan agama dengan cara yang biasa. Atau mungkin ia pun telah beradaptasi dengan waktu. Menjadi sekali lagi teraduk dalam benar dan salah yang tak ada bedanya. Dulu dan sekarang adalah sama pada prinsipnya. Hanya cara yang terkesan lebih apik dari sebelumnya. Tapi justru lebih berbahaya dibanding panah dan pedang untuk berperang.

Dibanding perut yang kelaparan berburu meminta makan. Rasanya lebih sopan ketimbang manusia yang tak ubahnya binatang yang rela mengais melakukan segalanya demi kata “kenyang”. Dengan berbagai cara. Mengaku telah jaya tapi tetap saja terjajah karena kita tak akan pernah bisa merdeka. Selama manusia hidup dalam nafsu yang kerap menggila.

Waktu.

Rasanya adalah obat paling mujarab untuk mengatasi dilema yang tak berujung. Rasanya pelampiasan paling baik dari hal yang dirasa tak berjalan baik. Dan waktu dengan pasrah menerima cemooh bagi mereka yang telah pupus harapan. Kalah dalam perang kehidupan yang memalukan. Tapi terus bergerak maju meninggalkan pecundang dalam memori masa lalu yang penuh penyesalan.

Tak perduli seberapa keras mereka berusaha. Meraka hanya akan gagal berulangkali. Karena dunia seakan menenggelamkan mereka kedasar. Dan menyisakan petarung terbaik untuk bertahan hidup. Memanipulasi waktu adalah impian terakhirnya yang tak akan pernah menjadi kenyataan meski hanya dalam mimpi. Berandai hal yang hanya dianggap ilusi semata tanpa pernah menjadi realita.

Waktu selamanya akan terus menjadi saksi sejarah yang tak terhenti. Merekam jejak langkah hingga mati. Waktu selamanya akan menjadi mata yang tak akan pernah buta. Bagaimana manusia mengubah dunia. Dan waktu sekaligus menjadi harapan terakhir manusia yang memperjuangkan perubahan. Perubahan dari ketidak teraturan yang teratur. Dari meraka yang secara sadar menginginkan siklus yang terulur dalam garis kehidupan yang sebenarnya. Dianggap mimpi dimasa ini.

Manusia sejatinya hanya merasa kosong. Kesepian. Tapi entah karena apa? Dan entah mengapa? Kerenanya manusia terus saja mencari jawaban. Dari pertanyaan yang ditimbulkan oleh benaknya sendiri. Manusia terus saja berusaha menemukan sejuta cara untuk menghentikan rasa tak nyaman di dirinya. Karena manusia telah lupa dan melewatkan hal terpenting dalam hidupnya. Hidupnya yang terorientasi pada dunia.

Tuhan. Yang tak lagi bersarang dihati. Tuhan. Yang selama ini hanya dianggap agnostik keberadaannya. Tapi secara sadar inilah kebenarannya. Meninggalkan kerinduan didirimu yang tak kau tahu. Yang telah menua karena kau hanya mengenalnya sebatas nama. Tuhan. Jalan terakhir berpulangnya manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun