Marganya Ronggo. Itulah yang kuketahui sejauh ini tentang satu keluarga utuh dengan lima orang anak yang tinggal persis di samping rumahku. Tidak ada hal khusus yang kuketahui tentang mereka. Mereka hanyalah keluarga keturunan Tionghoa sederhana yang tinggal di rumah yang luasnya tak jauh berbeda dengan luas rumahku.
Aku tertarik dengan kehidupan mereka. Setiap malam saat aku keluar mencari udara segar sejenak, berusaha menyingkirkan kepenatan karena suasana di dalam rumah yang membuatku jenuh, selalu terdengar tawa mereka yang membuatku iri. Aku bisa mendengar suara berat Om Ronggo yang tertawa hingga terbatuk-batuk. Aku bisa mendengar ocehan tante Kris yang lembut namun tegas. Aku bisa mendengar lelucon-lelucon konyol yang dilontarkan Sisil, si anak ke tiga, yang terkadang juga membuatku menahan senyum saat mendengarnya.
Aku mengenal mereka semua. Putra sulung mereka bernama Rayen, pemuda yang kutaksir berumur 25 tahun, bertubuh gemuk dengan tinggi badan pria pada umumnya. Ada lagi Steven,si anak kedua yang bertubuh kurus jangkung dan juga berwajah cukup tampan. Anak ketiga, Sisil, aku pernah sekelas dengannya saat kami sama-sama duduk di kelas dua SMP. Dia seorang gadis dengan tubuh cukup berisi, berkacamata, pintar dan supel di kelas. Dia juga seorang gadis tomboy, berbeda dengan Claudia, adiknya yang cantik dan cukup sempurna; tubuh tinggi semampai berwajah cantik dengan rambut yang selalu ia kuncir kuda. Dan yang terakhir, si bungsu, David. Anak lelaki 10 tahun bertubuh tambun yang juga teman main Angel, adik perempunku. Aku sering melihatnya berjoget-joget menirukan Brandon, tingkahnya yang selalu membuatku tertawa terbahak-bahak karena semua bagian tubuh gempalnya jadi bergerak kacau. Sangat lucu, apalagi saat melihat ekspresi mukanya yang sengaja ia buat serius.
Lima bersaudara itulah yang selalu membuatku iri. Meskipun aku sebenarnya juga memiliki saudara yang tak kalah banyak seperti mereka, tapi atmosfir tempat kami tinggal dan bahkan hubungan kami sekeluarga tidaklah sesuai dengan apa yang kuharapkan. Ibuku lebih memilih sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, dan setelah merasa letih, ia akan segera tertidur. Jarang kami berbincang satu sama lain layaknya hubungan ibu dan anak. Belum lagi sikap emosional ayah yang membuatku merasa lebih baik menjaga jarak dengannya.
Pernah aku memejamkan kedua mataku dan berharap, saat aku membukanya, aku terlahir sebagai salah satu anak om Ronggo, yang bisa tertawa setiap hari bersama para saudara. Tapi harapan konyol itu tak berbeda seperti menanam uang logam di dalam tanah dan berharap agar dari koin itu tumbuh pohon uang. Hanya keinginan semu, pengharapan kosong yang meski kita tahu tidak akan pernah terjadi, tapi selalu berharap dan meyakininya.
Hamparan awan yang menggumpal berarak di langit menyadarkanku. Aku memang bukan anak atau saudara mereka, tapi setidaknya, aku mempunyai kesempatan menjadi bagian dari keluarga mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H