Di era digitalisasi yang berkembang pesat, kehidupan konsumtif masyarakat pun mengikuti perkembangan tersebut. Salah satu inovasi terbaru yang muncul dalam ranah konsumsi adalah sistem pembayaran BNPL atau yang biasa disebut Buy Now Pay Later. Meskipun menjanjikan kemudahan dan kenyamanan dalam berbelanja, muncul sebuah pertanyaan: apakah Buy Now Pay Later adalah kemudahan ataukah jebakan konsumtif?
Apa itu Buy Now Pay Later?
Juru bicara OJK (Otoritas Jasa Keuangan) Sekar Putih Djarot menjelaskan bahwa paylater adalah sebuah istilah yang merujuk pada transaksi pembayaran atau jasa. Pada dasarnya paylater adalah layanan untuk menunda pembayaran atau berhutang yang wajib dilunasi di kemudian hari. Buy Now Pay Later pertama kali diperkenalkan oleh di Indonesia pada tahun 2016 oleh perusahaan fintech bernama Kredivo.
BNPL menawarkan opsi pembiayaan tanpa biaya tambahan, yang sangat menarik bagi konsumen yang sensitif akan biaya. Generasi milenial yang terbiasa dengan teknologi dan pelanggan dari Gen Z merupakan kelompok pengguna utama dari opsi pinjaman ini. Namun, pertumbuhan yang berkelanjutan juga akan dipengaruhi oleh konsumen yang lebih tua. BNPL memiliki potensi besar untuk memperluas pangsa pasar untuk bisnis ritel, meningkatkan pengalaman pelanggan, dan memperkuat loyalitas pelanggan.
Data Pengguna Buy Now Pay Later
Menurut Fortune Business Insights, pasar BNPL secara global diperkirakan akan meningkat dengan CAGR 22,0% dari $30,38 miliar pada tahun 2023 menjadi $122,19 miliar pada tahun 2030. Menurut PYMNT, 60% generasi milenial tertarik dengan paket BNPL dari bank mereka. Opsi pembayaran ini telah menjadi populer di kalangan Gen Z dan milenial.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat jumlah kontrak pengguna Buy Now Pay Later mengalami pertumbuhan sebanyak 18,18 juta kontrak atau sebesar 33,25% secara tahunan atau year on year (YoY) menjadi 72,88 juta kontrak per Mei 2023. Pada periode yang sama di tahun sebelumnya, pengguna buy now pay later sebanyak 54,70 juta kontrak. SVP, Marketing and Communications Kredivo menyatakan, di tahun 2023, 71,4% konsumen yang belum menggunakan pay later telah berencana untuk menggunakannya. Sedangkan 39,9% pengguna menggunakan lebih dari satu pay later, jumlah ini meningkat dari 27% pada tahun 2022.
Jebakan Buy Now Pay Later
Di balik kemudahan yang ditawarkan oleh Buy Now Pay Later, terdapat potensi jebakan konsumtif yang mengerikan. Sistem ini dapat memunculkan kecenderungan untuk mengonsumsi secara impulsif tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial yang sesungguhnya. Metode pembayaran menggunakan BNPL membuat ilusi seolah-olah semua orang bisa mendapatkan barang yang mereka inginkan dengan segera. Tanpa perhitungan yang matang, pengguna Paylater dapat dengan mudah terjebak dalam lingkaran hutang yang tak terkendali. Terlebih lagi, jika pengguna tidak mengelola pembayaran Paylater dengan bijak, bunga dan denda keterlambatan pembayaran bisa membengkak dengan cepat, menggerus stabilitas keuangan jangka panjang. Fenomena ini dapat menjadi ancaman serius, terutama bagi Gen Z dan milenial yang mungkin belum memiliki pengalaman finansial yang cukup matang.
Berikut salah satu hasil liputan dari Kompas.id. Karina (21), mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jakarta, mengaku mulai menggunakan paylater sejak 2018. Saat itu, dia masih duduk di bangku SMA dan belum memiliki penghasilan sendiri. Layanan paylater yang Karina pilih berasal dari aplikasi ojek daring sehingga kegunaannya berkisar untuk transportasi dan pemesanan makanan daring. Sejak menggunakan paylater, Karina mengaku jadi boros lantaran merasa tidak perlu membayar langsung transaksi yang dilakukannya.
”Itu (paylater) beneran jadi addict banget,” tuturnya, Rabu (4/10/2023). ”Setiap bulan aku pasti pakai (paylater) karena udah tertanam gitu di otakku buat pakai paylater saja,” tambahnya.
Kecanduan ini berlangsung hingga pertengahan 2023. Karina bahkan pernah dihubungi debt collector untuk mengingatkan tagihannya yang akan jatuh tempo. ”Aku pernah ditelepon sama 20 nomor seminggu sebelum jatuh tempo. Tiap hari dan tiap waktu (ditelepon),” katanya.
Karina akhirnya sadar bahwa kebiasaan buruknya tidak bisa terus berlanjut. Dia akhirnya mangatur limit kredit di aplikasi. Ia juga memutuskan untuk tidak mendaftar kembali akun paylater-nya ketika ada kebijakan baru untuk verifikasi ulang.
Di Indonesia sendiri, aturan khusus yang mengatur bisnis paylater ini juga belum ada. Padahal, penggunaan paylater pada transaksi e-commerce di Indonesia tahun 2020 telah mencapai US$ 530 juta, mengacu pada riset International Data Corporation (IDC). Pada riset yang sama, penggunaan paylater di Indonesia bahkan diprediksi bisa mencapai US$ 5,15 milar pada 2025. Angka tersebut akan berkontribusi sebesar 58,32% dari total penggunaan BNPL di Asia Tenggara.
Kesimpulan
Buy Now Pay Later memang memberikan segudang manfaat bagi konsumen maupun bisnis ritel, namun dibalik keindahan tersebut terdapat jebakan konsumtif yang berbahaya. Kemudahan ini justru membuat kita terlena, membuat kita lupa akan apa-apa saja yang penting dan perlu untuk dikonsumsi, dan membuat kita lupa untuk mengonsumsi secukupnya. Tak bisa dipungkiri, BNPL merupakan salah satu faktor pendongkrak konsumsi masyarakat yang mana akan meningkatkan bertumbuhan ekonomi. Namun, konsumsi impulsif dan tidak bijaksana akan mengarah pada malapetaka. Malapetaka mikro yang terkumpul secara kumulatif akan menjadi masalah makro prudensial.