HAM merupakan akronim dari Hak Asasi Manusia. Menurut John Locke, hak asasi manusia dapat didefinisikan sebagai hak yang secara kodrati melekat pada manusia dan bersifat mutlak. Sementara berdasarkan Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa manusia dilahirkan merdeka dengan memiliki hak dan martabat yang setara. Sehingga dapat disimpulkan jika hak asasi manusia atau HAM didefinisikan sebagai hak mutlak yang melekat pada diri sebuah individu yang dimana menempatkan semua individu pada derajat yang setara, yang dimana hak ini bersifat mutlak, dan tidak dapat dipisahkan dari manusia.Â
Dewasa ini, isu mengenai hak asasi manusia semakin santer diperdengarkan, baik dari sisi aktivis maupun dari masyarakat luas. Namun, pada prakteknya, banyak kejadian yang justru menunjukkan adanya ketimpangan dalam penegakan HAM. Fenomena 'pelaku menjadi korban, korban menjadi pelaku' seakan menjadi hal yang lumrah di era saat ini. Ironisnya, justru beberapa 'oknum' yang seharusnya tidak layak mendapatkan HAM justru mendapatkan HAM yang seharusnya ia tidak dapatkan, malahan korban yang seharusnya mendapatkan hak, malah kehilangan haknya itu. Lalu, apakah peribahasa 'tajam kebawah, tumpul keatas' ini bisa menggambarkan situasi buruk yang terjadi sekarang?
Mari berkaca dari kasus yang cukup viral saat ini, kasus yang melibatkan inisial FS ini sepertinya sudah menjadi berita hangat di seluruh Indonesia. Dikutip dari CNN news.com, FS didakwa dengan dakwaan pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP) juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Namun anehnya, setelah mendapat begitu banyak dakwaan dari JPU, pengadilan menarik hukuman mati dari FS dan mengubahnya menjadi penjara seumur hidup. Sementara salah satu pelaku dengan inisial E yang sudah kooperatif dalam melakukan pemeriksaan silang, justru tidak mendapat keringan hukum yang seharusnya bisa ia dapatkan. Hal ini menunjukkan bahwa hak asasi manusia tidak terpenuhi dengan baik. Tidak dapat dipungkiri, bahwa FS juga memiliki hak yang tidak bisa kita ambil, namun dengan mempertimbangkan kriminalitas yang telah dilakukannya, rasanya cukup adil untuk mengambil hak tersebut darinya.Â
Contoh lainnya, kasus Amaq Sinta, seorang petani tembakau yang menjadi tersangka pembunuhan akibat 'tidak sengaja' membunuh begal yang akan mencelakainya. Padahal, ia adalah korban yang sedang melakukan tindakan perlindungan diri, lalu mengapa ia menjadi tersangka atas tindakannya tersebut? Amaq dikenakan pasal 338 KUHP yakni menghilangkan nyawa seseorang yang melanggar hukum dan jufa pasal 351 KUHP ayat (3) melakukan penganiayaan mengakibatkan hilang nyawa seseorang. Namun hal ini menimbulkan gejolak di masyarakat. Para masyarakat seakan tidak terima atas vonis tersebut. Pasalnya, para masyarakat menilai bahwa tindakan tersebut masih bisa dianggap sebagai tindakan perlindungan diri. Kasus ini bahkan mengundang banyak perhatian dari pengamat hukum. Para ahli menilai bahwa dengan berkaca pada bukti yang ada, yakni begal tersebut hanya terkena satu tusukan, dapat disimpulkan jika Amaq tidak bermaksud untuk melenyapkan begal tersebut, namun hanya melakukan hal tersebut sebagai tindakan membela diri dari ancaman begal tersebut.Â
Dari beberapa pemaparan kasus diatas, dapat disimpulkan jika masih ada banyak sekali fenomena yang menunjukkan penegakan dan perlindungan HAM masih belum tepat sasaran, bahkan cenderung memihak pada pelaku, yang sebagian besar adalah orang berada dan memiliki 'kekuatan' yang besar. Sehingga diharapkan kedepannya, HAM dapat dimiliki oleh semua orang tanpa terkecuali, dan tidak digunakan dengan tidak bertanggung jawab, seperti berlindung dari kejahatannya.Â
Sumber :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H