Wajahnya yang cantik, senyumnya yang indah ... meronakan kelembutannya saat Halimah memakai busana muslimah berwarna merah maroon. Tubuhnya yang ideal sebagai wanita, tak begitu terlihat. Karena tubuh indahnya lebih dipertontonkan pada Tuhannya ketimbang pada orang-orang yang dikenalinya. Ketaatannya yang selalu dijaga, membuatkeyakinannya semakin bertambah dan ingin selalu kembali pada kebaikan. Namun, senyumnya tak seindah seperti yang dirasakannya pada keindahan hijabnyasekarang. Halimah lebih banyak mengurung diri di kamar, saat mengingat dirinya sudah tak perawan lagi. Rasa benci dan penyesalan selalu saja menghantui dirinya. Apalagi harga sang perawan untuk seorang gadis seperti Halimah, adalah permata yang selalu memilki nilai yang tak dapat dibeli oleh harta benda.Sehingga perasaan Halimah semakin hari, semakin tercabik dan terkoyak.
“Aku benci!”
“Bodoh!”
“Kenapa aku membiarkan cinta Jono berlabuh di hatiku!”
“Seharusnya aku tak menerimanya tanda cinta dari sang kekasih yang aku cintai. Karena aku belum menikah. Dan mungkin saja karena waktu itu aku belum berhijab, saat aku mengikrarkan pacaran itu halal.”
“Tidaaaaaaak!! Aku benci, kalau mengingat ini!!” Jeritan Halimah, ketika ia meluapkannya dikesendirian dengan sangat marah.
Halimah masih saja menangis di dalam kamarnya, sehingga teriakan itu bertubi-tubi menggelegarbagai petir di siang bolong. Dua bulan menyembunyikan ini dari kedua orangtuanya, dan hingga sekarang berhijab pun masih saja menutupinya dengan rapat. Tetapi, baru saja Halimah rebahan istirahat di kamar tidurnya, sayup-sayup suara terdengar dari halaman depan rumahnya.
“Tok tok tok! Assalamualaikum.” Suara lelaki itu memanggil keras.
Matanya terus menerawang, terlihat lurus menyusup di antara jendela rumah. Ia berusaha melihat-lihat keadaan. Dan memang keadaan rumah tampak sepi, seperti tak berpenghuni.
“Halimah ... Halimah ... ini, akuuu!” Suara nya kembali dikencangkan.
Halimah pun terkejut saat suara Jono itu terdengar jelas. Dantanpa banyak bicara lagi langsung buru-buru keluar menuju ruang tamu yang berada di depan, tepat keberadaan Jono menunggu di halaman depan rumah. Dengan wajah yang marah dan kesal, langsung Halimah membuka pintunya dengan kasar. “Blak!” suara pintu itu terbentur tembok sangat keras.
“Mau apa kamu ke sini! Pergiiii ...!” Teriak Halimah emosi. Yang secara kebetulan keadaan rumah sangat sepi, selain kedua orang tuanya sedang pergi, kakak laki-lakinya pun sedang ada urusan di luar kota.
“Lhoo ... ada apa, Halimah? Apa salah, ku? Aku jadi tak mengerti sama kamu!” Sergah Jono, merasa bingung dengan keadaan Halimah sangatmarah.
“Jangan belaga pilon, Ya! Sok kebagusan kamu! Masih beraninya datang kemari. Pergiii!!” Teriak Halimah semakin tak terkendali emosinya.
“Halimah ... aku kemari datang bukan untuk menyakitimu. Tetapi akan memberikan kabar baik, dan minggu depan aku akan menikahimu. Dan itu janjiku takkan lagi diundur.” Jawab Jono berusaha menjelaskan.
“Sudah terlambat! Dan aku tak mau melhatmu lagiii! Aku jijik sama kamu!”
“Kalau aku memang berbuat yang tidak-tidakterhadapmu itu karena khilaf, Halimah. Sungguh, dilubuk hatiku aku sangat mencintaimu. Dan kamulah satu-satunya wanita di dunia ini yang aku cintai, percayalah sama aku.” Dengan nada sedih, Jono kembali memberikan keyakinan.
“Pergiii! Kalau kamu tak pergi juga, biar aku berteriak saja!” Ancam Halimah dengan nada meninggi.
“Baik! Ba ... ik Halimah.” Jawab Jono tergagap,langsung meloyor pergi menghindari ancaman Halimah yang semakin nekad.
Dan Halimah pun, langsung menutup pintu dengan tergesa-gesa hingga buru-buru mengunci pintu. Perlahan ia menenangkan diri di kursi ruang tamu depan . Dan Halimah pun seperti lelah yang tiada berdaya. Dia duduk dengan wajah murung namun, sikapnya sedikit tenang dan mulai mengingat akan Jono yang sangat dibencinya. Karena Dialah lelaki yang memberikan tanda cinta pada dirinya hingga hilang keparawanannya.
“Maafkan aku, Ayah ... Mamah ...”
“Aku malu dengan hijabku ...”
“Aku bukanlah seorang muslimah yang baik,”
“Karena aku wanita yang tidak suci lagi,” decak Halimah penuh penyesalan.
Waktu pun berlalu, hari yang semakin kelam membuat kepercayaan dirinya mulai memudar. Bahkan hari-harinya seperti dikelilingi kabut yang tak pernah usai. Dan ini membuat kedua orang tuanya makin bingung dan resah, yang belakangan ini Halimah sering mengurung diri di kamar.
“Halimah ...,”
“Halimah ...,” ibunya memanggil lembut.
“Ayolah Nak, keluar, ibu mau bicara.” Kembali ibunya memanggil.
Tak ada suara jawaban yang datang dari Halimah. Yang ada suara rintih tangis Halimah yang terlihat sangat syok sekali. Dan tentu ibunya terkejut saat Halimah berteriak di dalam kamarnya dengan histeris.
“Heeeeuuuu, heuuu!” Tangis Halimah menggelegar.
“Klak,” pintunya langsung dibuka oleh ibunya.
“Ada apa Halimah, kok kamu menangis ...? Siapa yang menyakiti, kamu!” Tanya ibunya ingin tahu permasalahannya.
“Tidak, bu ... aku lagi sedih saja.” Ucap Halimah dengan tangisan yang tersedu-sedu, seolah menyembunyikan kesedihannya.
“Terus terang saja Nak, sama ibu. Ibu tak mau kamu mengurung terus-menerus di kamar. Katakan saja jika ada masalah seberat apa pun. Ibu akan siap membatunya. Jangan khawatir, Nak ... kita sama-sama sudah dewasa. Anggap saja ibumu sahabatmu dan tak perlu sungkan sama ibu.” Ibunya berusaha memancing pembicaraan.
“Aku sudah tak suci lagi, Bu ...,” dengan berat hati Halimah berterus terang.
“Apa ...? Siapa yang menghilangkan keperawananmu, Nak! Cepat katakan! Cepaaaaaat!! Jangan diam saja, kamuuu!” Bentak ibunya dengan menghentak-hentakkan tubuh Halimah.
Tubuh Halimah semakingemetar, ketika pertanyaan itu bertubi-tubi menghakimi dirinya. Rasa kalut, terkejut dan merasa bersalahsemakin memuntahkan kekecewaannya sebagai wanita. Perih, pedih, harus ditelan dan dijilat mentah-mentah sehingga dirinya semakin terpojokkan dengan yang menimpa dirinya.
“Jonooo, Buuu ...,” desah Halimah menangis.
“Si Jonooo ...?! Jadi kamu digagahi sama Dia! dan kamu sekarang tak perawan lagi!! Bangsaaaaaaat. Dasar si Jono sok alim, sok jadi ustad.Sok kesucian! Dasar lelaki brengsek!! Kenapa si Nak, kamu sampai senekad itu ... kamu nggak takut, sama Tuhan! Menjijikkan, kamu!”Nada keras ibunya semakin tak terkendali.
“Ampun, Buuu ...,”ucap Halimah dengan mengiba dan memohon.
“Kamu nggak kasian apa kalau ibu sudah tua dan berumur 60 tahun, mau ditaruh dimana muka ibu, Nak ...?!”
“Sudahlah, Bu ... aku malu.”
“Malu gundulmu! Kamu sudah pergi ke dokter untuk memeriksakan kehamilan?”
“Gimana mau hamil Bu, orang yang merobek keperawanan saya adalah sepeda pemberian dari Jono. Dan aku mengalami cedera keperawanan saat aku kecelakaan sepeda di lomba sepeda dua bulan yang lalu itu.”
“Apaaaaaaaaaa? Jadiiii kamu ... khoeekk!” Tiba-tiba ibunya muntah-muntah dan langsung tersungkur.
“Bu, kenapa Bu ... bangun, Bu ... maafkan Halimah sudah membuat susah ibu ...,Buuuu!” Jeritnya histeris. Namun tiba-tiba ibunya terbangun dengan wajah pucat dan layu. Sambil berpelukan dengan haru dan sedih.
“Nggak Nak, ibu cuma lupa mau bilang,”
“Katakan saja, Bu ... Halimah pasrah sama ibu, kalau ini memang sudah jalan Halimah seperti ini ...”Ucap Halimah pasrah.
“Ibu hamil, Nak. Dan kamu mau punya adik lagi.”
“Whaaaaaat!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H