Seorang wanita memang memiliki keterspesialan tersendiri sebagai sosok mahluk dari jenis manusia. Sosok yang penuh kasih sayang dan memiliki satu ketulusan dan kesetiaan yang utuh dalam cinta. Tak ada sosok yang memiliki keunggulan seperti ini. Salah satu contohnya adalah melahirkan, ya...melahirkan memang hanya milik seorang wanita. Dalam melahirkan, wanita diperhadapkan pada satu situasi yang krusial antara batas hidup dan kematian. Tapi herannya, wanita yang mengandung tak pernah takut menghadapi situasi yang mematikan itu. Tak ada kata mundur apalagi mengeluh, semua akan dijalani dan dilewati dengan sepenuh hati untuk kelahiran si buah hati, meski secara sadar mereka tahu bahwa resikonya adalah kematian.
Lalu pertanyaannya, cinta manusia mana lagi yang sebesar ini? Cinta mana lagi yang setulus dan seberani ini? Jawabannya tentu sederhana, hanya cintanya, cinta seorang Ibu. Seorang ibu memiliki kedudukan yang benar-benar tinggi, khususnya dalam agama Islam, sosok seorang wanita yakni Ibu ditempatkan pada posisi yang sangat tinggi dan terhormat. Suatu ketika dalam sebuah cerita digambarkan ketika seorang bertanya kepada Nabi, siapakah orang yang paling pantas dihormati di dunia setelah menghormatinya, jawaban nabi tegas adalah Ibu, pertanyaan ini diulang sebanyak tiga kali dan tiga kali itupun jawaban nabi tak bergeming, tetap Ibu, baru kemudian ayah.
Dalam konteks ini, dapat kita lihat sosok Ibu di mata Nabi dan Islam berada pada strata tertinggi kedua setelah penghormatan kepada Nabi. Tentu kita pernah mendengar sebuah ungkapan yang sering disampaikan dalam tausiah atau mimbar-mimbar jum’at bahwa tidak ada kirdhoan Tuhan pada manusia manapun selama orang tuanya belum ridho pada dirinya. Ini menandakan bahwa betapa orang tua (terlebih Ibu) haruslah benar-benar dihormati, bukan hanya dihormat,i bahkan harus diikuti dan ditaati selama tidak mengajak kepada kemusyrikan.
Bahkan indahnya ketika al-Qur’an mengajarkan suatu tata cara bergaul dengan orang tua kandung yang musryik sekalipun, al-Qur’an menekankan agar seorang manusia selalu menghormatinya dan tidak menyakitinya, kalau mereka mengajak pada kemusyrikan sekalipun maka kitapun dituntun untuk menolaknya secara bijak dan halus. Inilah pesan dalam al-Qur’an, betapa penghormatan pada orang tua haruslah total dan menjadi prioritas bagi seorang anak. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. Al-Israa: 23).
Kembali pada masalah sosok seorang Ibu, memang wajar bila ibu menempati posisi yang sangat tinggi dalam agama Islam maupun dalam pandangan nabi. Betapa tidak, manusia inilah yang rela “menggadai” nyawa untuk sebuah kelahiran manusia. Tak ada cerita nyata tentang pengorbanan cinta yang sesungguhnya di dunia ini yang begitu tulus dan ikhlas kecuali yang diperaktekkan oleh sosok Ibu. Ibu yang melahirkan, tak cukup melahirkan, sebelumnya iya harus merelakan kenikmatan hidupnya selama sembilan bulan dalam ketidaknyenyakan tidur, ketidaknyamanan makan, bahkan tak nyenyak segala, tapi Ibu mengandungmu dengan penuh cinta dan kasih. Tak selesai sampai di situ, setelah melahirkan ia masih menyusui selam dua tahun, iya memberikan kehidupan pada setiap bayi mungil yang saat ini telah menjadi kita yang dewasa dan mungkin lupa cerita yang ada pada wanita yang kita sebut Ibu itu.
Tapi begitu, Tuhan tidak lupa, Ia merekam kisah heroik seorang Ibu itu dalam sebuah ayat dalam al-Qur’an, yang tentunya tujuannya untuk kita renungkan secara mendalam dan tidak pernah lupa akan sejarah kenapa kita bisa sampai seperti ini, ini tak lepas dari perjuangan seorang Ibu. Perhatikanlah, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur" (QS. Al-A’raaf: 189).
Perempuan memang lebih banyak berkorban dari laki-laki, secara kodrati memang perempuanlah yang mengandung. Dan karena itu pula perempuan yang lebih banyak berkorban segalanya kepada kehidupan ketimbang laki-laki. Hal ini dapat kita lihat pada siklus kehidupan yang perempuan laksanakan mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan. Begitu berat dan besar pengabdian dan pengorbanan wanita inilah kemudian masuk akal kenapa sosok wanita dalam hal ini Ibu menjadi penting dan sangat tinggi setelah sosok Nabi. Memang tak bisa kita tepiskan sosok laki-laki dalam siklus kehidupan yang terjadi dalam rumah tangga, namun begitu, pengorbanannya tidaklah sebesar dan seberat apa yang dilakukan seorang Ibu, maka inilah yang kenapa kemudian Islam dan Nabi menempatkan posisinya pada urutan ke empat.
Namun sayangnya kenyataan ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada situasi sosial masyarakat kita saat ini, perempuan atau Ibu sering kali hanya menjadi produk pelengkap dalam suatu lingkup kehidupan baik keluarga, masyarakat, atau negara bahkan lingkup dunia sekalipun. Wanita sering dianggap faktor sekunder yang menentukan, bukan primer. Wanita selalu menjadi korban kekerasan di segala aspek, pelecehan seksual, KDRT, serta menjadi buruh-buruh migran dengan upah yang sangat kecil. Atau sederhana sajalah kita berkaca pada diri kita, bagaimana seorang anak lebih keras dan berani membangkang pada Ibunya, ia tak segan membentak, melawan. Bahkan di media tak jarang kita dengar seorang anak membunuh Ibunya.
Kenyataan apa ini? Situasi seperti apa yang kita jalani sekarang ini? Dan itulah yang kita hadapi, bahkan mungkin terjadi pada diri kita yang terkadang sering melawan Ibu dengan “gagahnya” seakan kita lupa bahwa kita pernah dilahirkan dengan “barter” nyawa. Kita lebih berani melawan dan membentak Ibu dibanding ayah, meski membentak ayahpun kita dilarang keras dalam agama. Kita bak “koboi” di depan ibu, dan bermental tahu (lembek) di depan orang yang tak pernah berkorban “nyawa” pada kita. Dalam situasi masyarakat patriarki atau masyarakat yang meletakkan laki-laki pada strata tertinggi dari wanita terkadang memang menempatkan wanita pada posisi terjajah. Padahal Islam memandang semua manusia sama, baik laki-laki dan perempuan dan tidak ada perbedaan di antara keduanya kecuali ketakwaan. Di sisi lain juga Islam menganggap bahwa antara laki-laki dan perempuan tak ada bedanya, keduanya dari sumber yang sama dan satu “dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu...” , kecuali pada aspek kodrati yang memang tak boleh ditukar antara laki-laki dan perempuan seperti; mengandung, melahirkan, dan menyusui.
Tapi karena kebodohan kita dalam memaknai, kita sering menempatkan wanita terbalik dengan laki-laki, pada akhirnya laki-laki tiga poin dan perempuan satu poin, padahal nabi mengatakan bahwa perempuanlah yang memiliki tiga poin untuk dihormati dan satu poin pada laki-laki. Sekali lagi dalam budaya patriarki terkadang wanita dalam rumah tangga itu mirip seperti “babu” atau pembantu. Pembagian pekerjaan atau beban rumah tangga terkadang tak adil dan berat sebelah bagi wanita ketimbang laki-laki. Padahal, dalam bahasa sansekerta sendiri seorang Ibu memiliki bahasanya tersendiri dimana makna filosofisnya justru menempatkan wanita pada posisi yang tinggi. Ibu, khususnya dalam rumah tangga dalam bahasa sansekerta disebutnya sebagai ‘gruhini’ yang secara harfiah artinya adalah ‘pemimpin di rumah’. Ini tentunya menunjukkan pada kita wanita adalah sosok primer dan pokok dalam rumah tangga dan tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa wanita adalah kaum lemah. Wanita pada aspek bahasa sansekerta tersebut (gruhini) mencerminkan pada pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita.
Sekali lagi mari berkaca pada diri kita sekarang, betapa anehnya kita yang justru lebih sering membentak dan melawan hingga tetesan demi tetesan air mata jatuh dari pipinya yang menua. Padahal dialah yang berkorban nyawa untuk kehidupan kita sekarang. Aneh, tapi kita tetap melakukannya dengan nikmat dan bahkan dengan egoisnya tanpa pernah merasa bersalah. Jika engkau melihat kisah cinta sejati seperti Romeo dan Juliet atau tentang Layla dan Majnun, nampaknya ini kisah hanyalah dalam bungkus cerita, kalaupun ada tak sehebat kisah cinta Ibu pada anaknya, dimulai dari saat mengandung, melahirkan, menyusui hingga merawat. Tentu cinta seperti ini hanya ada pada diri seorang Ibu, cinta sejati berjamin nyawa.
Melahirkan bukanlah persoalan yang mudah, itu proses yang menakutkan yang menguras energi baik dari dalam dan luar diri seorang Ibu. Kita yang tidak akan pernah atau belum merasakan itu semua, tidak akan pernah tahu makna cinta yang dimilikinya, hingga kita merasakan hal yang seperti itu, baru kemudian pertanyaan kenapa ia mau melahirkan seorang manusia dengan resiko kehilangan nyawanya dengan senyum dan penuh cinta, dapat kita jawab. Sama halnya dengan orang yang menceritakan tentang manisnya gula akan berbeda ketika yang menceritakan manisnya gula adalah orang yang pernah mencicipi gula dengan mereka yang tidak pernah mencicipinya sekalipun. Itulah yang terjadi pada seorang Ibu terhadap anaknya.
“Ya Allah ampunilah kedua orang tua kami dan sayangilah kedua-duanya sebagaimana mereka menyayangi kami sebagaimana saat kami kecil dahulu”. (Do’a anak kepada orang tua)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H