Mohon tunggu...
Deni Gunawan
Deni Gunawan Mohon Tunggu... -

Presiden BEM STFI (Sekolah Tinggi Filsafat Islam) SADRA JAKARTA\r\nSaya lahir, saya belajar, saya tak tahu, dan saya tetap mencari.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Saya, Muslim, Jawa dan Bali (Part 2)

5 September 2015   15:49 Diperbarui: 5 September 2015   17:27 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seiring waktu berlalu, paradigma tentang Islam yang negatif perlahan surut. Namun tak berarti bahwa itu hilang seutuhnya. Ini bisa kita buktikan pada kasus tentang pelarangan penggunaan jilbab di sekolah umum di Bali. Yang mencuat ke permukaan media Nasional terakhir belakangan. Memang secara keseluruhan sentimen anti Islam masih lekat di Bali akibat Bom Bali yang terjadi. Trauma terhadap Islam yang radikal tidak bisa begitu saja menghilang dari pikiran dan perasaan Rakyat Bali, khususnya mereka yang Hindu. Memang persoalan pelarangan jilbab adalah satu kesalahan yang mendasar yang dilakukan oleh Sekolah Umum Negeri terhadap anak didik yang tentunya hak dan kebebasan mereka di jamin oleh amanat konstitusi kita, yakni mengenai persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sekolah tidak bisa menolak murid yang ingin masuk sekolah dengan berjilbab dengan alasan bahwa sekolah telah menetapkan aturan untuk itu. Sebagai lembaga pendidikan hal yang seperti ini tidak boleh terjadi.

Sementara itu, beberapa bulan lalu tepatnya bulan Januari 2015 saya pulang ke Bali, liburan kuliah. Saya mendapati satu situasi tentang pro-kontra tentang persoalan desa. Di Bali, sebelum peraturan pemerintah tentang desa muncul, terdapat dua desa yang hidup dan eksis di Bali yakni, desa dinas dan desa adat. Desa dinas adalah desa yang sebagaimana kita ketahui pada umumnya, yakni desa administratif yang melayani masyarakat secara umum. Sementara desa adat adalah desa yang dibentuk untuk menjaga kebudayaan masyarakat Bali, terkhusus Hindu. Memang desa ini hanya diperuntukkan untuk masyarakat Hindu.

Ketika pemerintah pusat menginstruksikan bahwa desa harus ada satu dan hanya satu yang berhak menerima dana desa, di sinilah terjadi kebingungan dan kekacauan di Bali. Antara desa adat atau desa dinas yang akan melayani masyarakat manakaha yang harus dipilih? Masyarakat Bali terpecah dalam menanggapi soal ini, sementara umat Islam menolak, umat Hindu Bali terpecah dua ada yang pro dan ada yang kontra. Di tengah-tengah kekusutan yang terjadi, muncul seorang politikus muda Bali bernama Widya Karna yang sekarang duduk sebagai DPD RI di Senayan memasang baliho di sepanjang jalan raya di Bali, yang isinya sifatnya provokatif. Di mana ia mengajak kepada seluruh masyarakat Hindu Bali untuk menggoalkan desa adat sebagai desa yang akan menjadi desa sah di Bali. Tujuannya adalah—kata Widya Karna—untuk kedigdayaan masyarakat Hindu Bali. Di sinilah letak kebodohan dan kesalahan politisi muda itu, ia tidak memperhatikan sejarah dan realita yang ada bahwa Bali tidak hanya hidup manusia dengan satu keyakinan yang homogen, dan bahwa Bali, meski secara mayoritas adalah Hindu tidak berarti bahwa masyarakat dengan keyakinan lain seperti Islam, Kristen, Budha, dan Konghucu tidak hidup di Bali.

Sikap konyol politisi yang demikianlah kadang-kadang juga menimbulkan hal yang buruk bagi kehidupan antar keyakinan masyarakat Bali yang selama ini hidup damai dalam perbedaan. Harus kita akui bahwa, di Bali penduduk asli yang benar-benar asli adalah terletak di daerah yang bernama desa Trunyan. Sehingga jika kita merujuk ke fakta itu, maka sejatinya baik Hindu maupun muslim, dan yang lainnya bisa kita sebut adalah pendatang. Namun, tentu tidak demikian dan semudah itu kita dapat menyimpulkan. Faktanya, masyarakat Hindu Bali, dan sebagian kecil muslim Bali telah hidup lama dan jauh sejak masa kolonialisme. Karena itu, baik sebagian kecil Muslim dan sebagian besar Hindu itu bolehlah kita sebut sebagai orang Bali asli. Hal yang perlu disadari oleh kita semua, tak terkecuali masyarakat Bali, baik muslim atau Hindu, ataupun yang lainnya. Bahwa, kita hidup dalam kerangka bangsa Indonesia yang bineka. Di mana segala perbedaan dan keyakinan dijamin oleh konstitusi akan keberadaannya. Tidak boleh satu kelompok atas nama mayoritas berhak mengkebiri hak-hak minoritas.

Jika kita lihat Bali, saya sendiri adalah anak orang Bali—jika dilihat dari keturunan Bapak—dikatakan bahwa buyut saya adalah campuran antara Bugis dan Bali. Kenapa Bugis? Ini adalah persoalan sejarah lain yang panjang untuk diceritakan, kenapa suku Bugis bisa terdampar di Bali. Entah benar atau salah, bahwa ada pendapat yang menyatakan bahwa Hindu Bali adalah sisa-sisa dari kejayaan Majapahit yang terdesak oleh kerajaan Demak saat itu, sehingga menemukan tempat pelarian dan perlindungan yang kini  bernama Bali. Tentu ini hanya asumsi, namun dari segi arsitektur, Bali merupakan miniatur Majapahit tempo dulu. Beberapa nama tempat di Bali pun akan kita temukan sama dengan daerah di Jawa, semisal Kediri juga terdapat daerah Kediri di Bali.

Untuk menutup refleksi ini, saya ingin mengatakan bahwa, Bali dengan toleransinya yang kuat tak berarti hal-hal kecil seperti di atas sepenuhnya tidak ada, tentu ada, dimanapun kecenderungan menjadi mayoritas kadang-kadang membuat kita lalai akan kelompok minoritas yang hidup berdampingan dengan kita. Kadang-kadang mayoritas merasa paling memiliki, seperti Islam dalam konteks Aceh, Hindu dalam konteks Bali, Kristen dalam konteks NTT, dll. Menjadi muslim dan minoritas di Bali terlebih sebagai orang Bali asli membuat saya bangga dan bahagia. Bisa bertemu banyak orang baik dari komunitas Hindu. Perlu kita sadari bahwa Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu adalah seluruhnya adalah agama impor yang di bawa para saudagar dan penjajah ke negeri kita. Untuk itu, tak jarang bahwa kita juga salah mencerap mana ajaran agama dan mana budaya para pembawa agama itu yang kita ambil sebagai bagian dari ajaran agama. Bahkan kadang-kadang sikap keras para pembawa agama juga kita ambil sebagai bagian dari ajaran agama. Padahal tidak demikian juga adanya, karena itulah kita harus yakin bahwa agama selalu mengajarkan kebaikan dan persamaan atas harkat dan martabat manusia apapun agamanya.

Apa yang saya alami—sekaligus menjawab pertanyaan ketiga tentang hubungan saya dengan Umat Hindu Bali—adalah mungkin cerita sebagai minoritas yang riil saya alami. Namun begitu, saya menganggap kejadian stereotipe itu bukanlah satu bentuk diskriminasi Hindu terhadap muslim, akan tetapi lebih kepada person yang kemudian belum memiliki basis pengetahuan yang jelas dan luas terhadap akar persolan yang ada. Untuk sikap saling menghargai, menghormati, dan menjaga satu dengan yang lain haruslah senantiasa kita galakkan, demi menjaga kesatuan kita berbangsa dan bernegara dalam kebinekaan. Dan inilah juga yang merupakan ajaran nenek moyang serta leluhur kita dahulu. Dalam al-Qur’an kita diajarkan untuk saling mengenal terhadap mereka yang berbeda, bukan malah saling menjatuhkan dan menghujat satu dengan yang lainnya.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS-Al-Hujurat ayat 13).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun