Penulis  : Muhammad Ikhsan Albanna
Instansi  : Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
MENGHUBUNGKAN STOIKISME dan TASAWUF: SENI KEIKHLASAN dan KESABARAN DALAM KEHIDUPAN MODERN
Di tengah dinamika kehidupan modern, kita sering dihadapkan pada tekanan sosial, perubahan yang cepat, dan ketidakpastian yang sulit dihindari. Banyak orang merasa cemas terhadap masa depan, terjebak dalam ketidakpuasan, atau kehilangan makna dalam hidup mereka. Dalam konteks ini, konsep keikhlasan dan kesabaran menjadi kunci penting untuk menemukan kedamaian batin. Namun, bagaimana kita bisa mengasah kedua nilai ini secara mendalam?
Stoikisme, sebuah filosofi yang berasal dari Yunani kuno, dan Tasawuf, tradisi spiritual dalam Islam, menawarkan jawaban yang menarik. Stoikisme mengajarkan penerimaan terhadap hal-hal di luar kendali kita dan fokus pada kebajikan sebagai inti kebahagiaan. Sebaliknya, Tasawuf menekankan hubungan dengan Tuhan melalui keikhlasan, kesabaran, dan ridha (penerimaan hati terhadap takdir). Meskipun berasal dari budaya dan zaman yang berbeda, keduanya memiliki banyak kesamaan yang relevan dengan tantangan kehidupan modern.
Melalui refleksi atas Stoikisme dan Tasawuf, kita bisa menemukan panduan untuk hidup lebih ikhlas, sabar, dan harmonis di tengah kesibukan dunia. Artikel ini akan mengupas bagaimana kedua pendekatan ini saling melengkapi dan menawarkan inspirasi praktis untuk pembaca masa kini.
Stoikisme adalah sebuah aliran filsafat Yunani kuno yang dikembangkan oleh Zeno dari Citium pada abad ke-3 SM. Filosofi ini berfokus pada pengembangan kebijaksanaan melalui pengendalian diri, hidup selaras dengan alam, dan penerimaan terhadap apa yang tidak dapat kita kendalikan. Stoikisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada keadaan eksternal, melainkan pada bagaimana kita meresponsnya. Dengan menempatkan keutamaan seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan pengendalian diri sebagai inti kehidupan, Stoikisme menawarkan kerangka untuk menghadapi tantangan hidup dengan tenang dan bijaksana.
Salah satu prinsip kunci Stoikisme adalah dichotomy of control, yaitu membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali kita dan yang tidak. Menurut prinsip ini, kita hanya memiliki kendali atas pikiran, tindakan, dan sikap kita, sementara hal-hal seperti pendapat orang lain, keadaan eksternal, atau hasil dari usaha kita berada di luar kendali. Dengan memahami batas kendali ini, Stoikisme mendorong kita untuk fokus pada apa yang bisa kita ubah (diri kita sendiri) dan menerima apa yang tidak bisa kita kendalikan dengan ikhlas. Misalnya, jika seseorang menghadapi kegagalan dalam pekerjaan, Stoikisme mengajarkan untuk menerima situasi itu tanpa larut dalam kesedihan, sembari tetap fokus pada usaha dan upaya yang dapat dilakukan ke depannya.
Prinsip ini tidak hanya relevan dalam menghadapi tantangan besar, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika menghadapi kemacetan lalu lintas, kita tidak bisa mengubah situasi jalanan, tetapi kita bisa memilih untuk tetap tenang dan sabar. Dengan pola pikir seperti ini, Stoikisme membantu individu mengurangi stres dan kecemasan, sekaligus memperkuat ketenangan batin dan kebijaksanaan
Tasawuf adalah dimensi spiritual dalam Islam yang menitikberatkan pada penghayatan hubungan yang mendalam dengan Allah, melalui keikhlasan, kesabaran, dan penerimaan total terhadap takdir-Nya. Sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Tasawuf mengajarkan manusia untuk tidak hanya mematuhi aturan lahiriah agama, tetapi juga membersihkan hati dari sifat-sifat tercela, seperti kesombongan, iri, dan cinta dunia yang berlebihan. Dalam Tasawuf, tujuan akhir dari perjalanan spiritual adalah mencapai keridhaan Allah (mardhatillah) dengan mengarahkan seluruh aspek kehidupan kepada-Nya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit.
Dua prinsip utama dalam Tasawuf adalah ridha dan sabar. Ridha adalah sikap menerima dengan penuh keikhlasan terhadap segala ketetapan Allah, baik itu berupa nikmat maupun ujian. Dalam tasawuf, ridha dianggap sebagai tanda tertinggi dari keyakinan seorang hamba, karena mencerminkan kepercayaan mutlak terhadap kebijaksanaan Allah yang Maha Mengetahui. Seseorang yang memiliki ridha tidak akan terlarut dalam kesedihan atau rasa kecewa ketika menghadapi cobaan, karena ia yakin bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari rencana Allah yang terbaik untuknya. Misalnya, dalam menghadapi kehilangan, seorang yang memiliki ridha akan menerima keadaan tersebut dengan tenang, tanpa menyalahkan diri sendiri atau orang lain.