Berdasarkan kamus bahasa Inggris-Indonesia, reshuffle artinya mengocok kembali, mengubah. Jika dilihat dari arti katanya, seharusnya reshuffle ini mengandung sesuatu yang segar. Bukankah lazimnya sebuah pergantian bermakna atau diiringi tujuan “agar lebih baik”?
Saya yakin tujuan tersebut juga diamini oleh Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia (RI) yang saat ini begitu sibuk menimbang, memikirkan dan merencanakan perombakan menteri kabinet, yang bagi sebagian besar masyarakat diberi nilai merah. Isu perombakan kabinet memang bukan pertama kali terdengar tapi ini merupakan pertama kalinya, akhirnya, dilaksanakan. Paling tidak hingga detik ini, masih dalam proses.
Tidak bisa ditutupi bahwa memang banyak atau beberapa menteri tidak terlalu terlihat prestasinya dan buat saya, itu patut dijadikan pertimbangan untuk menggantinya. Nah, yang menjadi hal melelahkan adalah karena proses ini yang memakan waktu lama. Jelas bahwa mengganti menteri bukanlah hal mudah karena ini menyangkut kepentingan masyarakat. Tapi terkadang saya bertanya, apakah ini berdampak positif terhadap masyarakat atau sebenarnya hanya menjadi komoditi kaum intelektual saja? Lalu bagaimana dengan masyarakat di desa-desa? Akan bijak rasanya, jika proses reshuffle kabinet, ini tidak terlalu berbelit-belit. Singkirkan kepentingan partai politik di susunan kabinet. Dahulukan kepentingan rakyat. Rakyat seluruh Indonesia, bukan rakyat dari golongan tertentu.
Beberapa waktu lalu, tv ramai memberitakan tentang Nazaruddin dan Nunun. Apa kabar dengan mereka? Tampaknya belum ada kejelasan mengenai kasus-kasus mereka. Marilah sebentar saja, posisikan diri kita sebagai masyarakat awam yang tidak mengerti politik. Rasakan dan tanyakan seberapa penting isu ini untuk mereka?
Jika pusat terlalu sibuk mengurusi ini, bagaimana dengan mereka yang ada di desa? Jangan salahkan bila ada isu di daerah yang dekat perbatasan dengan negara lain, mau memilih untuk berpisah dari Indonesia. Bukankah hal yang wajar jika terlintas dalam pikiran mereka, “Ah, pusat terlalu bermain politik.” Salahkah mereka jika terlalu lelah dengan dinamika politik pusat yang seperti ini?
Jangan salahkan pula bila sebagian masyarakat ada yang bersikap apatis terhadap dinamika politik dalam negeri dan lebih nyaman untuk menutup mata dan telinga ketimbang harus selalu mendengarkan “kericuhan” pusat. Padahal negeri ini membutuhkan suntikan pendapat kaum muda-mudi.
Di antara semua kementerian, saya pikir yang harus ditanyakan secara gamblang prestasi kerjanya adalah Kementerian Desa Tertinggal. Mohon jika ada yang tahu prestasi mereka, silahkan diskusi di sini. Nusa Tenggara Timur contohnya. Apa yang telah mereka lakukan untuk NTT? Apakah ada perubahan signifikan sejak kementerian ini dibentuk? Karena sudah dua kali sejak tahun 2009 dan 2010, ketika saya datang ke sana, kondisi NTT ya masih jauh dari “layak”.
Ah, ini benar-benar menjadi sebuah momentum Presiden untuk bertindak secara professional. Profesional bekerja sebagai Kepala Negara RI. Berhenti berpikir tentang pembagian kue politik. Sungguh, hal ini sudah terlalu melelahkan.
Deva
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H