Ada yang tahu arti Bako? Saya baru dengar kata ini pertama kali saat diminta orangtua saya untuk menemani mereka datang ke acara Bako saudara kami. Pertama kali yang terlintas dalam pikiran saya, “Oh…itu mungkin acara adat Padang.” Titik, hanya itu. Saya tidak tahu apa-apa tentang Bako. Orang tua saya pun akhirnya menjelaskan bahwa Bako itu adalah sebuah acara adat iring-iringan pengantin Sumatera Barat yang dihadiri oleh keluarga papa sang mempelai laki-laki. Singkatnya, untuk minta restu pihak keluarga ayah sang mempelai laki-laki. Mengenai detail ritualnya, papa saya hanya menjawab singkat, “Udah, lihat aja nanti.” Akhirnya tibalah saya dan orangtua, beserta kakak laki-laki saya di tempat acara. Sebuah rumah yang sudah dihias ala Padang, dengan pelaminan yang berwarna emas dan orange.Acara itu bagaikan reuni keluarga besar saya. Berhubung kami jarang mudik, jadi acara itu merupakanajang temu kangen dengan keluarga yang langsung datang dari Padang demi acara Bako ini. Katanya ada ratusan orang yang datang dari Padang. Wow…. Tidak lama setelah mengobrol di tempat itu, kami diminta untuk datang ke sebuah rumah yang isinya mempelai pengantin dan persiapan acaranya. Tidak jauh dari tempat acara. Dengan berjalan kaki 10 menit, kami sampai di rumah kedua. Di sana terlihat berbagai macam barang yang tersaji di halaman depan rumah tersebut. Saya bingung tapi tidak sempat bertanya-tanya kepada orang tua saya, maklum heboh ketemu saudara kampung. Beberapa hadiah yang akan disajikan, antara lain magicjar, teko, rantang, bed cover,gelas, dispenser, kue, dsb. [caption id="attachment_83647" align="aligncenter" width="300" caption="Lambang Kesejahteraan"][/caption] [caption id="attachment_83648" align="aligncenter" width="300" caption="Semoga Sejahtera :)"]
[/caption] Dan masing-masing benda tersebut diletakkan di sebuah nampan yang sudah diisi beras.
Saking penasarannya, saya pun bertanya dengan seorang ibu yang disana, “Ini kok ditaro di atas beras?” Ibu A (maaf, saya tidak tahu namanya): “Iya, ini sebagai lambang supaya hidup sejahtera.” Saya: “Oooooo…” (Dalam pikiran saya,
gimana bawanya????) Akhirnya, acara pun dimulai. Calon mempelai pengantin keluar dan diiringi oleh iringan rebana dan senandung shalawat. Para perempuan berbaris di depan dan laki-laki di belakang. Setiap perempuan membawa hadiah-hadiah yang sudah diletakkan di atas beras tadi, dan ditaruh di kepala mereka.
Woowwwww….(luar biasa, tidak jatuh dan mereka tidak memperlihatkan muka berat). [caption id="attachment_83649" align="aligncenter" width="300" caption="Hebatnya..."]
[/caption] Karena jumlah perempuan dan barang sudah pas (Mama saya ikutan bawa kue tapi tidak ditaru di kepala), saya pun bertugas untuk mendokumentasikan acara ini (untuk keperluan pribadi, hehehe). Ketika saya berjalan, ternyata di sebelah saya seorang ibu yang merupakan teman SR-nya (Sekolah Rakyat, setingkat SD sewaktu penjajahan Belanda). Saya kaget luar biasa. Dengan santainya, saya bertanya: “Papa waktu kecil bandel gak?” Dan ibu tersebut (lagi…lagi, saya lupa namanya!) sambil ketawa bilang: “Bandel
banget”. (Sambil melirik ke belakang). Hahaha…ternyata ada papa saya di belakang, geleng-geleng kepala. (
Hehehe..jadi malu saya). Lupakanlah tentang percakapan itu. (
Ngeles…) Nah, inilah rombongan perempuan tangguh dan calon mempelainya. [caption id="attachment_83650" align="aligncenter" width="300" caption="Luar biasa tangguh :)"]
[/caption] [caption id="attachment_83651" align="aligncenter" width="300" caption="Ini dia calon pengantinnya"]
[/caption] [caption id="attachment_83652" align="aligncenter" width="300" caption="Menuju tempat acara"]
[/caption] Akhirnya tibalah kami di tempat acara. Ternyata, ada sebuah acara balas pantun dengan (pasti) menggunakan bahasa Padang, antara perwakilan keluarga ayah calon mempelai laki-laki dengan perwakilan calon mempelai perempuan.
Huhuhu…mereka jago banget pantunnya. Enak didengar. Sayangnya, saya tidak bisa menulis bahasa Padang tersebut (pantunnya cepat sekali tapi bisa dimengerti).
Ssst…acara balas pantun ini memakan waktu 20 menit lho, sambil berdiri. Setelah pantun-pantunan tersebut, acara dilanjutkan dengan pemberian gelar bagi calon mempelai laki-laki. Kali ini gelarnya adalah Datuk Perak. Aduhhh, saya tanya kepada orangtua saya, mereka pun tidak tahu alasannya kenapa diberi nama Datuk Perak. Setelah itu, calon mempelai laki-laki berkeliling bersalaman dengan perwakilan keluarga ayahnya, sambil meminta restu. Akhirnya, waktu makan pun tiba. Para perwakilan keluarga calon mempelai, duduk di lantai sambil bersila kaki dan itu pun masih dengan pantun yang singkat-singkat. Karena hari sudah sore, saya dan keluarga, tidak bisa mengikuti acara tersebut sampai selesai. Tapi paling tidak, di hari ini saya mendapat pengetahuan baru mengenai tradisi leluhur saya, Sumatera Padang. Bagaimana dengan tradisi leluhur kalian? Deva, yang akhirnya memposting tulisan ini (kejadian: 24 Desember 2010), January 17, 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya