Mohon tunggu...
Ananda Ladeva Gumanti
Ananda Ladeva Gumanti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Blogger, writer, script writer, full passionate with PR and Politic Communication and also love to travel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tanjung Leidong, Simandulang dan Teluk Pulai Luar di Bulan Agustus

8 Agustus 2010   13:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:12 2412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_219743" align="alignleft" width="300" caption="Sekolah di atas air - Simandulang-"][/caption]

Kelurahan Tanjung Leidong Kabupaten Kualuh Leidong merupakan sebuah tempat terpencil, yang harus ditempuh selama 5 jam menggunakan kapal ferry dari Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara. Pun dari Medan menuju Tanjung Balai Asahan adalah 5 jam perjalanan darat. Artinya, untuk menempuh Kelurahan Tanjung Leidong, harus memakan waktu 10 jam perjalanan.

Sebuah tempat yang belum pernah aku dengar sebelumnya, sampai suatu ketika aku mendapatkan tugas untuk pergi ke sana, berurusan dengan para nelayan. Tepat di sana ada 3 desa yang bernama Tanjung Leidong, Simandulang dan Teluk Pulai Luar. Tiga nama desa, yang belum tentu masing-masing masyarakat desanya tahu desa-desa lain, meskipun mereka satu kelurahan. Mungkin jarak adalah jawaban mengapa mereka tidak tahu desa-desa lainnya. Bukan suatu yang terlalu aneh, mengingat ada saja warga desa yang tidak tahu kantor kepala desanya sendiri. Bukan karena tidak mau tahu tapi itulah misteri, selalu ada hal menarik di sebuah desa yang tidak akan ada bosannya untuk diteliti.

Satu lagi pengalaman yang luar biasa aku dapatkan di bulan ini, bulan Agustus, bulan yang penuh semangat perjuangan.

Jika di Jakarta, ibu kota Indonesia semangat juang 45 sudah tidak terlalu terasa, tetapi justru lebih terasa semangat juang mempertahankan hidup dengan segala polemiknya maka lain di Tanjung Leidong, beda di Simandulang, tidak sama dengan Teluk Pulai Luar.

Di suatu pagi tanggal 3 Agustus 2010, sebelum saya dan tim memulai bekerja, kami sarapan di suatu kedai makan di Tanjung Leidong. Lewatlah 3 tim paskibra sekolah, dimulai dari SMU, SMP, dan SD. Dan 1 tim yang tiada berseragam, memakai baju sesuka hati mereka tapi senyum dan semangat mereka luar biasa, tak kalah dengan kakak-kakaknya yang berseragam sekolah, mungkin mereka dapat disebut tim usia bebas.

Tanjung Leidong saat itu panas luar biasa, tapi itu tidak menjadi halangan bagi semua…yach…semua masyarakat Tanjung Leidong sedang sibuk mempersiapkan perlombaan 17 Agustus-an. Orang tua mendandani anak-anaknya untuk lomba tari, untuk memasang bendera, para laki-laki bersemangat memasang bendera Indonesia di sampan-sampan mereka. Itulah mereka, warga Indonesia. Bangga dengan kemerdekaannya sekalipun himpitan hidup yang mereka hadapi. Indonesia raya…!!!

Tanjung Leidong

Adalah kelurahan di Kabupaten Kualuh Leidong. Di sini terjadi akulturasi budaya yang menarik antara Melayu dan Tionghoa. Mereka hidup dengan damai, tiada ribut, tiada rebut apapun. Semua sudah ada porsi masing-masing. Semua saling menyapa. Kelurahan kecil, tak ada bioskop, mall bahkan panggung hiburan apapun. Yang ada hanya rumah, pasar, sekolah, kedai makanan, kedai kopi. Hiburannya adalah catur. Sangat khas melayu. Seorang bapak di Tanjung Leidong mengatakan, “Inilah Tanjung Leidong, beda dengan Jakarta. Kami lahir, besar dan tinggal di sini dengan segala kekurangannya. Belum mengenal internet. Yang kami tahu bahwa ikan dapat membuat kami hidup.”

Simandulang

Tiada yang dapat aku rangkumkan mengenai Simandulang selain desa di atas air. Ini bukanlah perumpamaan. Ini kenyataan. Jarak dari Tanjung Leidong menuju Simandulang harus naik sampan selama lebih kurang 1 jam. Yap sampan, bukan kapal yang ada atapnya. Tapi sampan dari kayu yang dikendarai dengan mesin. Pemandangan menuju ke sana tolong jangan tanya. Mengapa? Karena di sana indah. Bukan karena laut yang biru karena menuju Simandulang tidak melalui laut tetapi melalui sungai. Sungai yang berwarna coklat. Lantas apa yang indah? Yang indah adalah karena dapat melihat lumba-lumba kecil berloncatan di depan mata. Bukankah itu indah, teman? Kedamaian, mungkin itulah yang selalu dikejar oleh para nelayan ketika melaut, tidak melulu tentang ikan dan uang.

Saat perjalanan ke Simandulang, aku melihat sebuah kapal yang ditambatkan di sebuah kayu di tengah sungai dan laki-laki tersebut tidur di tengah sungai sambil merokok. Mungkin itu definisi damai menurutnya. Aku yang melihatnya, juga mengatakan itu damai (terlepas dari bahaya merokok itu sendiri).

Tiba di Simandulang, langsung melihat kelenteng. Iya kelenteng yang berwarna merah, ada babi yang sudah dikuliti dan para masyarakat di sana sedang mempersiapkan sebuah acara perayaan di kelenteng mereka. Layaknya di Tanjung Leidong, masyarakat di Simandulang juga terdiri dari etnis Melayu dan Tionghoa, damai. Kelenteng ini bukan sembarang kelenteng. Simandulang bukan desa biasa. Seperti yang diawal saya tulis, bahwa Simandulang adalah desa di atas air. Tiada kiasan.

Rumah-rumah, sekolah, kelenteng, pasar, kantor desa, dan pasar semuanya di atas air. Semua bangunan mereka terbuat dari kayu. Jalanan mereka baru 200 meter yang terbuat dari beton, selebihnya kayu. Itulah yang bernama titian. Itulah yang membuat aku lemas ketika aku mendengar ditugaskan di sana. Lemas bukan karena aku tidak suka daerah itu tapi lemas karena harus membayangkan berjalan di atas jembatan kayu (titian) yang usianya sudah tua dan lapuk. Salah menginjak, tamat riwayat. Aku tidak bisa berenang. Jelas bukan pertaruhan hidupku?! Tapi, aku yakin tidak akan ada yang membiarkan aku jatuh dan memang itu yang terjadi. Semua saling bekerja sama agar tidak ada yang terjatuh ke air.

Semua anak-anak, remaja dan orang tua, melihatku bagaikan aku alien dan menertawaiku. Hahaha…aku berjalan dipegangi oleh teman se-timku. Titian bergoyang. Fuih…satu langkah oke, dua langkah lumayan dan oh no…di depan masih panjang, teman. Bayangkan jalan sepanjang 5 km terbuat dari kayu yang sudah tua dan lapuk, ditopang juga dengan kayu yang usianya tua dan dibawahnya ada air. Luar biasa!

Anak-anak kecil semua berlarian di sana, tiada takut. Mereka pejuang!

Siang sekitar jam 3, air di sungai menyusut! Tiada air lagi! Wow…luar biasa. Desa di atas air mendadak menjadi desa di atas tanah. Kambing yang semula di atas titian, begitu air surut mereka langsung turun. Semula kami hanya melihat air, tetapi begitu surut, anak-anak bermain di lapangan. Lapangan yang semula adalah sungai! Subhanallah…

Bisakah dibayangkan jika kayu sudah habis, tidak lagi didapatkan, bagaimana mereka merenovasi bangunannya? Bagaimana jika mendadak ombak datang ke sungai mereka menghancurkan bangunan mereka? Bagaimana dengan nasib anak kecil di sana? Tiada perlu menjawab, perih.

Teluk Pulai Luar

Ditempuh dari Tanjung Leidong hanya 10 menit naik sampan setelah itu naik ojeg selama 30 menit. Bukan ojeg dengan kondisi jalan yang biasa tetapi jalanan lumpur, becek dan tidak pernah diaspal. Turun dari ojeg, perutku melilit sakit sekali. Perut terguncang-guncang. Tukang ojegnya?! Aman dan sentosa, sudah biasa melihat motornya hancur lebur. Tidak ada sekolah di sini. Sekolah terdekat adalah di Tanjung Leidong. Jarak antar rumah jauh. Bahkan salah satu masyarakat di sini ada yang tidak mengetahui kantor kepala desanya. Suami melaut dan istri di rumah, mengurus anak. Itulah hukumnya di sini.

Itulah sisi lain dari Medan. Nun jauh di sana, pembangunan belum tersentuh. Entah belum tersentuh karena sedang dalam proses untuk menyentuh atau memang tidak ingin menyentuhnya. Sulit untuk dibayangkan tahun 2010 ini, Indonesia 56 tahun, masih ada desa yang tidak mempunyai jalanan yang layak. Indonesia 56 tahun dengan segala keterbatasannya tetaplah negara yang patut dibanggakan.

Nun jauh di sana, sekelompok anak terus berlatih untuk memenangkan perlombaan 17an. Semangat juang mereka adalah hadiah untukku dari Tanjung Leidong. Hadiah untuk terus menyematkan nasionalisme di jiwa ini meskipun pahit melihat penderitaan tiada kunjung berhenti di Indonesia ini. Indonesia raya…!!!

Catatan dari Kemang dengan hati yang berada di Simandulang, desa di atas air.

Deva

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun