Mohon tunggu...
detta dettol
detta dettol Mohon Tunggu... -

Lahir di Bandung 1986. Memiliki ketertarikan khusus pada bidang pendidikan, komunikasi, wirausaha dan budaya. Cinta mati dengan musik, seni dan fotografi. Seringkali merasa gelisah secara spiritual dan intelektual, namun selalu dapat berkata "Every little thing is gonna be all right" setiap bangun pagi dan menyeduh segelas kopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Adaptasi dan Proses Menjadi

22 Maret 2010   15:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:16 1872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Asumsi dasar adaptasi berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusionari yang senantiasa melihat manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya, baik secara biologis/genetik maupun secara budaya. Modifikasi budaya bagi Roy Ellen menjadi supreme atau yang teratas bagi homo sapiens, dimana adaptasi budaya dan transmisi informasi dikatakannya sebagai pemberi karakter spesifik yang dominan. Manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk belajar seperangkat sosial dan kaidah-kaidah budaya yang tidak terbatas.[i] Pada konsep adaptasi dalam kerangka antropologi, terdapat istilah plasticity (bahasa indonesia : plastisitas?) yang berarti kemampuan untuk merespon dan menyesuaikan diri dengan berbagai macam kondisi terutama selama pertumbuhan dan perkembangan seorang individu. Kemampuan merespon dan menyesuaikan diri terutama pada lingkungan, perilaku, dan komunikasi adalah kunci untuk menjelaskan hal-hal penting dalam adaptasi manusia.[ii] Salah satu faktor penting yang mempengaruhi plasticity adalah perkembangan dari otak manusia. Otak manusia berevolusi sebagai pengaruh dari seleksi alam, yang berujung pada meningkatnya kecerdasan, pemahaman simbolik, perkembangan bahasa dan perilaku, serta kemampuan untuk terus belajar.

Selanjutnya, bagaimana cara manusia (kita) untuk beradaptasi? Jika merujuk dari tulisan di atas yang menyebutkan bahwa konsep adaptasi berkaitan erat dengan kemampuan otak manusia, mungkin sebagian besar akan berpikir bahwa proses adaptasi itu akan berlangsung secara otomatis, dengan sendirinya, dan tanpa perlu banyak usaha untuk mempelajarinya. Anggapan itu benar sekaligus salah. Dikatakan benar karena upaya ini seringkali merupakan sebuah tindakan yang tidak disadari namun tetap terjadi secara alamiah alih-alih otomatis, karena adanya mekanisme dasar tersebut. Namun di sisi lain, terdapat pula faktor-faktor pendorong dan penghambat dari sebuah proses adaptasi. Di sinilah perlunya inisiatif dan upaya kita untuk mempelajari konsep adaptasi. Yang akan dibahas disini adalah adaptasi dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan segala kejadian, segala bentuk proses komunikasi dan interaksi sosial yang kita alami, serta kaitannya dengan proses menjadi (being).

Mengapa ini menjadi penting? Karena pada dasarnya dalam interaksi sosial, kita tidak pernah dan tidak akan pernah bertemu dengan seseorang yang secara utuh sama persis dengan diri kita. Kita hidup dalam dunia yang serba plural, yang penuh dengan perbedaan-perbedaan kecil maupun signifikan. Dalam berkomunikasi misalnya, akan jauh lebih baik apabila kita mencoba mengerti tentang budaya dimana kita berkomunikasi, dan budaya apa yang dimiliki oleh lawan komunikasi kita. Dengan sedikit kemauan untuk memahami manusia sebagai seorang individu yang unik, serta kemampuan berempati, akan jauh lebih besar efektivitas komunikasi yang terjadi.

Oleh sebab itu, konsep-konsep seperti jenis-jenis kepribadian, pola pikir, perspektif/sudut pandang, ideologi, dan semua jenis nilai yang kita miliki seharusnya (menurut saya) tidak dipandang sebagai sebuah hal yang taken for granted, dogmatis, kaku, dan pasti benar secara universal. Akuilah, kalau setiap saat kita dituntut untuk terus-menerus beradaptasi, setiap saat kita memiliki sejuta kemungkinan untuk pergi ke tempat baru, bertemu dengan orang-orang yang baru, berbicara mengenai hal baru, dan pada akhirnya memiliki sebuah pengetahuan baru. Setiap saat.

Bahkan kadang saya berpikir bahwa manusia yang tidak menyadari bahwa dirinya berubah, serta manusia yang menolak perubahan, sebetulnya adalah jenis manusia yang merugi. Saya tidak akan terjebak dalam diskusi mengenai segi baik atau buruk dari perubahan itu, karena menurut saya itu relatif, dan yang akan dibahas disini hanyalah perubahan serta adaptasi itu sendiri. Para akademisi, nun jauh di sana, sejak dahulu kala sudah melakukan hal yang luar biasa dalam menelurkan konsep plasticity, mereka mencoba mengatakan bahwa kemampuan untuk “belajar”, berkembang, dan berevolusi adalah sangat manusiawi dan telah ditanamkan oleh-Nya kepada setiap manusia tanpa terkecuali. Namun kadang kita sebagai manusia lah yang terlalu sombong untuk memanfaatkan kemampuan itu. Seringkali manusia terjebak dalam egonya sendiri, merasa dirinya dan semua nilai-nilainya paling benar dan berlaku universal. Manusia kadang terjebak dalam nilai-nilai yang dimilikinya, sehingga Ia lupa menyadari bahwa dunia tidak se-sempit perkiraannya.

Adaptasi, akan terjadi kapan saja, dan dimana saja. Dan berapa banyak orang yang menolak untuk beradaptasi hanya karena mereka tidak mau mencoba untuk memahami? Banyak sekali, sayangnya. Kadangkala sering terjadi kesalah pahaman antara memahami dan menyetujui. Banyak orang yang terjebak dalam kesimpulan bahwa perbedaan antara “saya” dan “dia” atau antara “kami” dan “mereka” adalah merupakan sebuah hal yang menjadi pembenaran untuk kegagalan sebuah interaksi. Banyak orang yang memaksa diri untuk menyetujui sesuatu, sebelum mereka mencoba untuk memahami hal tersebut. Mana mungkin hal itu terjadi? Apakah mungkin kita menyetujui tanpa memahami? Nonsense.

Tentu saja konsep adaptasi, sebelum berujung pada pendewasaan dan pengembangan diri akan mengalami beberapa tahapan tertentu. Tahapan itu akan saya ilustrasikan dengan menggunakan modifikasi dari empat tahap kesadaran lintas budaya dari Robert Hanvey (1976).

- Level one - “the others” are different and therefore exotic and entertaining.
- Level two - “the others” are different and therefore problematic.
- Level three - “the others” are believable in an intellectual way.
- Level four - “the others” are believable as lived experience.

Kemudian dari ke-empat tahapan ini Hanvey mengatakan ;

“The evolutionary experience that seemed to freeze us into a small-group psychology, anxious, and suspicious of those who were not “us”, also made us the most adaptive creature alive. That Flexibility, the power to make vast psychic shifts, is very much with us. One of its manifestations is the modern capacity for empathy.”

Voila ! We ARE the most adaptive creature alive. Saya yakin bahwa kebanyakan dari kita disadari maupun tidak, selalu mencari tentang apa yang disebut makna atau pengalaman hidup. Dan jika demikian, dengan senang hati saya akan mengatakan bahwa pencarian makna hidup adalah sebuah proses yang tidak akan pernah selesai, setidaknya tidak akan selesai selama kita masih melakukan interaksi dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Herbert Blumer (1962) menambahkan bahwa “makna adalah produk dari interaksi sosial. Makna ini mungkin berubah lewat interpretasi individu ketika situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial juga berubah. Konsekuensinya perilaku mungkin berubah, karena makna, sebagai basis perilaku, juga berubah.” Dan perubahan-perubahan inilah yang terus menuntun kita dalam sebuah proses menjadi, dalam sebuah dialektika makna yang tidak kunjung selesai, dalam kontemplasi diri yang terus berlangsung, dalam kecemasan yang tidak pernah berhenti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun