Teliti Literasi dari Kasus Foto Hoax Rohingya
Detti Febrina | @dettife* 06092017
Apa bahayanya menyebarkan foto-foto hoax pada isu Rohingya? Selain sebagian besar terkategori disturbing pictures/gambar yang tidak nyaman untuk dilihat, namun yang paling berbahaya adalah pengaburan fakta kemanusiaan yang sungguh terjadi di Rakhine State. Alih-alih ingin berbagi kepedulian, ikut menyebarkan foto-foto hoax Rohingya berbahaya karena justru menisbikan empati akan kezaliman yang nyata berlaku.
Kasus salah posting mantan Menkominfo Tifatul Sembiring, sudah diakui oleh yang bersangkutan sebagai kesalahan, adalah contoh segar. Lihat cepatnya diskusi terdistraksi dari bagaimana ringankan derita Rohingya pada bagaimana merundung mantan Menkominfo yang bisa kepleset juga posting hoax.
Pertama-tama yang seharusnya sudah selesai untuk jadi debat adalah fakta kejadian. Organisasi kemanusiaan di bawah United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) pada Februari 2017 memublikasi dokumentasi perkosaan massal, pembunuhan - termasuk pada bayi dan anak-anak, penganiayaan brutal, penghilangan manusia, dan banyak tindak kekerasan tingkat berat yang dilakukan angkatan bersenjata Myanmar http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=56678#.Wa-bVNgxXYU . [yes, dengan alasan kredibilitas sengaja dipilihkan link dari UN/PBB].
Artinya, isu kemanusiaan Rohingya itu fakta. Bukan hoax. Dari banyak literatur yang bisa diverifikasi, kezaliman ini bahkan sudah bertahun-tahun.
Maka poin kritisnya adalah kemampuan memisahkan hoax dengan kebenaran.
***
Sudah banyak situs maupun grafis yang memberi edukasi tentang bagaimana cara kita mengkritisi hoax/fake news.
"Kritis" sendiri adalah kata kunci dan niscaya dalam literasi informasi.
Rumusnya sederhana: kritisi setiap informasi yang Anda terima, termasuk tentang Rohingya. Jika surat Al-Hujurat ayat 6 dibutuhkan jadi reminder, maka ingatlah bahwa di ayat yang turun 14 abad lalu itu, bahaya hoax disebut sebagai musibah.