Bahasa Indonesia dan Menjadi Indonesia
Fadly Rahman
Apa yang membuat Indonesia sebagai sebuah bangsa saat-saat ini acap dikatakan tengah mengalami krisis identitas? Seringkali jawabnya hanya terbatas pada soal telah redupnya nilai-nilai wujudiah berupa tradisi, seni, dan budaya. Adapun bahasa, sebagai akar terdalamnya, seringkali terabaikan bahkan seakan luput dari pemindaian masalah.
Belum lagi, persoalan-persoalan kebudayaan beberapa tahun belakangan sering diselesaikan dengan jalan-jalan politis yang tidak cakap. Pematenan budaya adalah satu buktinya. Seakan dengan mematenkan angklung, batik, reog, ke UNESCO agar semata-mata tidak diklaim oleh bangsa lain, maka masalah kebangsaan kita dianggap selesai. Ini bisa juga diartikan kemenjadian kita sebagai Indonesia pun dihasilkan dari ”proses pematenan”, bukan pematangan untuk hidup bersama dalam keragaman budaya. Belum lagi saat-saat ini, Indonesia masih saja berkelindan dalam masalah konflik identitas: kesukuan, agama, politik, paguyuban, hingga pengubuan pribumi-non pribumi.
Sepengalaman sebagai pembelajar sejarah, saya lebih memaknai, bahwa permasalahan identitas kebangsaan Indonesia sejatinya tidak dapat dilepaskan dari masa lalu dinamika kebahasaannya. Dengan memahami akar berbahasa melalui pengetahuan masa lalu, saya berpikir, ini bukan hanya dapat memahami bagaimana bahasa sebuah bangsa dibentuk. Tapi, dapat menjadi sarana mendudukkan secara ideal bahasa Indonesia dalam dinamika kehidupan berbahasa saat ini dan masa depan. Maka, tulisan ini adalah sebuah pemikiran yang menjadi bagian dari pengalaman pribadi menjadi Indonesia melalui bahasa Indonesia dengan melacak akar masa lalu kebahasaan bangsa ini.
Bahasa Menggerakan Bangsa
Sudah banyak dimafhumi, salah satu nilai strategis yang menentukan kuat-lemahnya identitas kebangsaan adalah bahasa nasional. Sebagaimana terbunyikan dalam ungkapan ”bahasa menunjukkan bangsa.” Lebih jauh, Mihai Nadin, ahli semiotika, dalam bukunya The Civilization of Illiteracy (1997: 28) mengatakan bahwa “bahasa atau apapun bentuk ekspresi dan komunikasi manusia, bermakna luas bagi eksistensi dirinya.” Jelas, dengan memaknai Nadin, bahasa adalah sarana ”pengayaan diri”, baik individu maupun kolektif. Maka, dalam konteks berbangsa, dibutuhkan satu bahasa untuk menjalin persatuan; apalagi untuk bangsa yang majemuk macam Indonesia.
Kemajemukan bahasa sendiri adalah salah satu hal yang telah menubuh dalam jejak masa lalu Indonesia. Selain rupa-rupa bahasa daerah, bahasa-bahasa asing (seperti Belanda, Inggris, Arab, Tionghoa, Portugis, dan Sanskerta) pun pengaruhnya telah berlalu-lintas berabad-abad di Nusantara. Meski begitu, dalam keragaman tersebut, bahasa Melayu tetap menjadi lingua franca alias ”bahasa pergaulan” antarbangsa.
Untuk menghindari kesan ”imperialisme bahasa,” maka, menjelang dan setelah Indonesia merdeka yang dijadikan sebagai bahasa Nasional bukanlah salah satu dari ratusan bahasa daerah, pun bukan bahasa Melayu. Tapi dirumuskanlah sebuah konsep bahasa yang mampu menghimpun dan tetap menjaga segala kemajemukan bahasa dalam satu kesatuan bahasa. Sebagai bahasa Nasional, dalam awal kehadirannya, bahasa Indonesia sejak mula memiliki sifat penuh keterbukaan dan toleran dalam menyerap kata-kata dari bahasa daerah dan asing.
Asas persatuan mula-mula digagas dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang mencakup kehidupan berbangsa, bertanah air, dan berbahasa Indonesia yang satu. Hidup satu dalam kebhinekaan, menjadi tujuan dari ikrar tersebut. Para penggagas bangsa, sejak mula tidak sekedar bersumpah untuk zamannya saja. Mereka telah menerawang sebuah bangsa yang diimpikannya ideal berdasarkan hasil renungan dan pemikiran terhadap masa lalu Tanah Air-nya. Dengan dasar menyadari adanya keragaman dan keberbedaan dalam bangsanya itulah, maka, mereka memikirkan butuhnya suatu bahasa persatuan.
Sebagai golongan intelektual muda, mereka sadar betul bagaimana Tanah Air-nya dikuasai oleh kolonialisme Eropa melalui sistem pengetahuan yang terjalin apik. Salah satu cara kaum kolonialis menguasai tanah jajahannya adalah dengan menguasai bahasa yang ditutur oleh masyarakat jajahannya. Tak heran para sarjana kolonial pada kurun abad 19, sebutlah Herman Neubronner van der Tuuk, Jonathan Rigg, Karel Frederik Holle, dan Sierk Coolsma, sepanjang hayatnya mendalami bahasa-bahasa di Nusantara dengan sepenuh hati. Van der Tuuk menguasai bahasa Batak, Lampung, Melayu, Jawa, Sunda, Bali, dan bahkan Jawa Kuno. Salah satu karyanya adalah Kamus Batak – Belanda (Bataksch-Nederduitsch Woordenboek [1861]) yang hingga saat ini masih menjadi rujukan terandal bagi siapa saja yang meneliti budaya Batak. Adapun Rigg dan Coolsma menguasai fasih bahasa Sunda yang bertahun-tahun ditelitinya. Rigg menyusun kamus Sunda – Inggris (A Dictionary of the Sundanese Language [1862]), dan Coolsma menyusun kamus Sunda – Belanda (Soendaneesch – Hollandsch Woordenboek [1913]). Sedangkan Holle berperan menumbuhkan budaya melek baca di wilayah Priangan dengan memproduksi buku-buku berbahasa Sunda karya para penulis Sunda dalam aksara latin.
Apa tujuan mereka sebenarnya melakukan itu semua? Menjawab ini, motto K.F. Holle yang berbunyi “taal is macht” (bahasa adalah kekuasaan), patutlah direnungkan. Ya, dengan menguasai bahasa-bahasa di tanah jajahannyalah mereka dapat menguasai seluk-beluk pengetahuan (tradisi, budaya, adat, hingga mentalitas) rakyat pribumi. Dalam konteks kolonial, bentuk penguasaan ini adalah sejenis penjinakan bahkan pengadaban rakyat pribumi agar bisa masuk dalam segala kepentingan mereka. Misi-misi kaum kolonialis Eropa, sebutlah dengan memberi pendidikan, kristenisasi, penelitian etnografis, serta menjalin hubungan politik dan ekonomi lokal, dilakukan melalui pendekatan kebahasaan. Dengan begini, hubungan kolonial dengan pribumi dicitakan dapat saling memahami. Maka benarlah, ungkapan yang berbunyi ”tak kenal, maka tak sayang.” Namun tujuan pokok di baliknya, semata-mata agar dapat mengikat emosi masyarakat pribumi agar yang terjajah bisa masuk serta mendukung segala misi dan kepentingan kolonial. Dan strategi kebahasaan inilah yang menjadi salah satu sebab langgengnya kolonialisme hingga awal abad 20.
Namun, kelanggengan ini hanya bertahan hingga munculnya generasi muda pribumi berkesadaran nasional yang memikirkan strategi jitu menandingi kolonialisme. Bukan dengan kekuatan fisik, tapi sama-sama melawan dengan kekuatan pemikiran. Pemikiran sendiri hanya bisa dikeluarkan melalui penguasaan bahasa sebagai pengantar untuk menyampaikan segala gagasannya. Tapi lebih dari sekedar itu, ada tujuan lebih mendasar, yaitu untuk mengayakan dirinya sebagai anak sebuah bangsa yang ingin merdeka dari penjajahan.
Sejak akhir abad ke-19, Kartini telah membuktikan kekuatan penguasaan bahasa untuk menghadirkan kediriannya sebagai seorang putri Jawa yang terkungkung dalam alam feodal dan patriarki. Melalui bahasa Belanda yang dikuasainya dengan baik, ia telah menyampaikan eksistensi dirinya melalui kegiatan surat-menyurat dengan sahabat-sahabat penanya. Penguasaan bahasa tulis Kartini yang baik dalam menghadirkan pendirian dan pemikiran kebangsaan dalam surat-suratnya, di kemudian hari dan bahkan melintasi zaman, telah menginspirasi para pembacanya.
Tapi, sayang, Kartini telanjur tutup usia (1904) sebelum menyaksikan menubuh dan menumbuhnya kesadaran berbahasa nasional pada diri-diri nasionalis awal abad 20. Sebut saja salah satunya Tirto Adhi Soerjo. Tirto adalah perintis surat kabar nasional berbahasa Melayu pertama di Indonesia. Bahasa Melayu yang dipilihnya itu sendiri merupakan benih bahasa Indonesia. Melalui Medan Prijaji yang dirintisnya pada 1907, Tirto menggunakan bahasa Melayu dalam surat kabarnya tersebut sebagai sarana propaganda dan untuk membangun pendapat publik. Sebagaimana diungkapkan Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak (1997), Tirto adalah sosok pertama yang menggerakkan bangsa melalui bahasa dalam tulisan-tulisannya di Medan Prijaji.
Menimba Masa Lalu dalam Pengalaman Berbahasa
Masa-masa sesudah Tirto wafat (1918), bahasa Indonesia berproses hadir dan kemudian berkembang sebagai bahasa persatuan. Kehadiran bahasa Indonesia sendiri sungguh tidak bisa dipisahkan dari semua latar-belakang historisnya. Etos berbahasa para pribadi masa lalu, dapat menjadi inspirasi untuk menimba pengalaman berbahasa (Indonesia) yang baik.
Dalam pandangan berdasar pengalaman saya berbahasa, selain sebagai sarana ”menjadi sebuah bangsa” yang berbahasa mandiri, bahasa Indonesia juga menjadi jembatan antara bahasa-bahasa lokal (daerah) dan juga bahasa-bahasa asing. Bahasa Nasional bukan berarti membinasakan bahasa-bahasa daerah (lokal), tapi justru menjaganya agar tetap sinergis dalam menjaga keutuhan bangsa. Jika bahasa daerah binasa oleh bahasa Nasional, maka praktis kebudayaan daerah pun akan terancam keberadaannya. Begitupun, bahasa-bahasa daerah sejatinya mendukung konsep persatuan dalam kebhinekaan Indonesia. Dalam hal ini, bahasa Indonesia dapat diartikan fungsinya sebagai peredam berbagai jenis gejala etnonasionalisme yang dapat menjerumuskan Indonesia ke arah disintegrasi. Jika fungsi ini bisa hadir, maka pengaruh lebih luasnya akan menumbuhkan rasa toleransi atas segala keragaman serta keberbedaan hidup di bumi Indonesia.
Namun, masalah besar lain yang rawan mengancam bahasa Nasional (sekaligus bahasa lokal) di dunia saat ini adalah imperialisme bahasa global. Bahasa Inggris, utamanya, acap dituding sebagai biang masalah karena telah ”menjajah” segala praktek berbahasa baik lisan maupun tulisan di berbagai negara-bangsa. Dunia pendidikan hingga media massa pun turut andil memengaruhi laku berbahasa masyarakat. Pun, teks-teks berbahasa asing menyergap masyarakat di ruang-ruang publik. Tanpa banyak yang menyadari, bahasa Nasional dan lokal tengah terancam dan akan terbunuh secara pelan-pelan. Tentu, tidaklah arif menyalahkan sepihak bahasa Inggris yang nyata dibutuhkan dalam pergaulan mancanegara saat ini. Namun, ini lebih pada soal kematangan dalam mendudukan bahasa Nasional agar tidak tunduk oleh hegemoni bahasa asing.
Untuk mengatasi hal ini, saya cukup sejalan menggunakan konsep ”Tiga Bahasa” yang ditawarkan oleh Kepala Bagian Bahasa UNESCO, Joseph Poth (2000: 29) dalam tulisannya Éloge du Plurilinguisme (berbicara banyak bahasa). Dikatakan Poth, kemestian berbahasa yang dibutuhkan saat ini adalah dengan menggunakan bahasa daerah (langue maternelle), bahasa resmi/Nasional (langue officiel), dan kemudian bahasa internasional (langue international). Tentu gagasan Poth strategis diterapkan di sekian banyak sekolah Indonesia yang beberapa tahun belakangan di antaranya tengah ”terserang demam” sekolah bertaraf internasional. Jangankan bahasa daerah, bahasa Indonesia pun terlemahkan posisinya dalam kemasan banal ”kurikulum internasional.” Padahal sedianya, untuk menghadapi masalah macam di Indonesia, bahasa Nasional didudukkan sebagai perantara antara bahasa lokal dan global. Yang dimaksud dengan ’masalah’ itu, adalah apa yang dikatakan oleh Poth, bahwa:
”ketika bahasa ibu yang minoritas ’diserang’, para penuturnya akan merasa tidak nyaman dan bakal mengalami konflik batin. Dan ketika mereka tidak bisa berdamai dengan identitas dirinya sendiri, mereka sulit untuk berdamai dengan yang lain.”
Mencerna pemikiran Poth, sepertinya inilah sumber masalah Indonesia. Dan jelas, bahasa Indonesialah yang sedianya dapat menengahi dan mengatasi masalah ini. Hendaknya, dengan menambahkan gagasan Poth, sebelum mempelajari bahasa-bahasa asing, tentu sejatinya diperkuat dulu bahasa Nasional di sekolah-sekolah. Dengan begini, etos menjadi Indonesia dengan berbahasa Indonesia, akan tertanam dalam mental para siswa dan kelak menumbuh luas dalam laku berbahasa masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H