Mohon tunggu...
Fadly Rahman
Fadly Rahman Mohon Tunggu... -

Sejarawan. Pegiat food studies. Penikmat buku. Menulis di beberapa surat kabar nasional (Kompas, Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Sinar Harapan). Buku saya "Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial, 1870 - 1942" (Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2011). Email: chef_fadly@yahoo.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan dan Genetika Moral

10 Juli 2011   00:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:48 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan dan Genetika Moral

Fadly Rahman

“Gus, semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. Kan itu tidak terlalu sulit difahami? Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan caraNya sendiri.” (Sanikem, dalam Bumi Manusia – Pramoedya Ananta Toer).

Kata-kata Sanikem alias Nyai Ontosoroh sebagaimana dikutip di atas ditujukan terhadap Minke, siswa HBS (sekolah setingkat SMA masa awal abad ke-20). Sengaja dijadikan avant-propos tulisan ini, mengingat moral dalam dunia pendidikan nasional telah ternoda sebagaimana menampak dalam kasus yang dialami Alif, anak Siami itu. Jika dibiarkan, dicemaskan akan makin memundurkan mental dan moral bangsa yang mana ibarat juggernaut, lajunya akan sulit dihentikan.

Jangankan kelak, kini pun hasilnya sudah menubuh dalam praktik-praktik korupsi dan kebohongan aparatur pemerintahan kita. Sebagai yang berpendidikan, tidakkah saudara-saudara itu paham, mana nilai baik dan tidak baik? Layaknya suara yang mungkin ada senada dengan Sanikem atau senasib dengan perempuan dusun tak mengecap pendidikan tinggi itu, awam mungkin bertanya-tanya: “kan itu tidak terlalu sulit difahami?”

Pertanyaan dan sekaligus jawabnya bukan saja untuk saudara-saudara itu, tapi memantul juga pada kita dan semua hayat insani. Sebab, siapapun yang pernah terlibat di dalam jejak-jejak pendidikan, sejatinya menghayati entitasnya, sebagai: animal educandus dan educandum, makhluk yang dididik dan dapat mendidik dirinya sendiri.

Ini bukan hanya berkait dengan karut-marut mental dan moral yang acap didengar dalam berita. Boleh jadi yang karut-marut itu berkelindan di sekeliling kita. Atau bahkan, jangan-jangan ada yang berpeluang atau malah sudah terkena samparnya. Adalah tugas kita untuk waspada disertai kesadaran mendudukkan diri sebagai makhluk berpendidikan yang cendekia.

Sebagaimana pemikir Rusia, Grigori Pomerantsmembuat pengumpamaan pembagian tiga kaum cendekia atau intelektual. Katanya: ada kaum “intelektual yang intelektual” yang mana tingkah lakunya ditentukan kejujuran dan logika; lalu, kaum “netral” yangasal ikut arus dan (tapi masih) mudah disadarkan; dan, kaum “bandit intelektual” yang menolak berpikir logis sebagai bentuk manutnya pada kekuasaan yang menilai kelogisan dan kejujuran macam kaum pertama adalah sebentuk sikap keras kepala, berbahaya bagi kepentingan diri atau kelompoknya. Tentu saja kedua kaum “intelektual” terakhir itu hanya sesindiran Pomerants; mengingat tidak semua manusia berpendidikan adalah cendekia. Sebab, kaum cendekia sejatinya mengusung pertanggung-jawaban mental dan moral yang penuh terhadap sesama, tidak memakan yang bukan haknya.

Namun, nyatanya ketiga kaum yang dibilang Pomerants itu menubuh di manapun dan kapanpun. Kaum pertama yang dikatakan sebagai cendekia sebagaimana mestinya itu, dari jejak keberadaannya dikenal tak takut mengorbankan jiwanya sekalipun demi mempertahankan kebenaran. Kaum ini bukanlah pengumpul harta, pengejar-ngejar status, oportunis yang dengan culas menyingkirkan pesaing, bahkan kawannya sendiri demi dan atas nama kepentingan diri dan partainya. Kebalikan dari dua kaum: “netral dan bandit” yang nyata menyelinap di manapun; jumlahnya boleh jadi lebih banyak ketimbang kaum cendekia.

Tak perlu rasanya menyebut contoh atau misal, toh rasanya cukup dimahfumi membaca karakter kaum netral dan bandit saat ini; bahkan kaum jenis itu ada di sekitar kita. Adalah asa, bila kaum netral –lebih-lebih kaum bandit– yang karena kealpaan atau ikut-ikutan mereka masih bisa disadarkan ke jalan lurus.

Apakah itu jalan lurus? Ini terhubung dengan hakikat pendidikan sebagai penerang ruhani, pemberi kekuatan dan ketahanan hidup di dunia fana ini untuk tidak dikalahkan hawa nafsu yang menggadai kehormatan, menjatuhkan saudara-saudara itu di mata sesama dan (yang utama tapi acap diabaikan): TUHAN. Ada “kekuatan” itu di baliknya. Sebagaimana didapati dalam perkataan Francis Bacon: “pengetahuan adalah kuasa”. Tapi, bukan kuasa untuk menjadi zalim, culas, dan loba memakan yang bukan haknya. Sebab, Bacon menyandingkan kuasa itu dengan kalimat yang indah benar: “Jadi anda tahu, kami berusaha di bidang ini bukan untuk mendapat emas, perak, atau permata; bukan pula untuk memperoleh sutera atau rempah-rempah atau barang dagangan kebendaan yang lain; tetapi demi ciptaan Tuhan Yang pertama, yakni CAHAYA; jadi semuanya ini kami lakukan semata-mata untuk memperoleh cahaya (katakanlah) dari pertumbuhan seluruh bagian dunia ini.” Bacon memaksudkan “cahaya” itu sebagai kuasa atas diri untuk tidak bernafsu, zalim, culas, dan loba.

Baik alegori Pomerants maupun ungkapan Bacon ini didapati juga dalam tulisan Y.B. Mangunwijaya, pedagog bersahaja yang mengasingkan diri di Kalicode, menjauhkan diri dari kelindan nafsu banyak manusia. Agak mirip Mangunwijaya, seabad lebih lalu, nun di tanah Amerika, hidup filsuf Henry David Thoreau yang memilih mengasingkan diri di Taman Walden. Thoreau menyelami banyak falsafah kehidupan yang lalu ia tuangkan segala resahnya dalam Civil Disobedience (1849); sebentuk kepedihannya melihat ketidakberesan moral di Amerika Serikat pada paruh pertama abad ke-19.

Ini bukan berarti mengikut sepenuhnya seperti Thoreau dan Mangunwijaya. Terlampau berat. Mengingat dalam kehidupan yang dikatakan “beradab” ini berkelindan nilai baik dan buruk yang kapan saja dapat memengaruhi jiwa bisa berubah-ubah tabiat. Maka itu, adalah kemestian, dunia pendidikan mewariskan kehanifan moral agar nilai-nilai kebenaran, keadilan, kesederhanaan tertanam di Indonesia ini. Bukan mengintimkan dusta dan kecurangan dalam hidup bermasyarakat yang malah makin membuat kejujuran dimusuhi dan diasingkan.

Jika dibiarkan, seperti kata Sanikem: “Tuhan akan memaksanya tahu dengan caraNya sendiri.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun