Selain untuk kebutuhan survei dari kantor tempat saya bekerja, rasanya tak mungkin dapat membunuh waktu lebih lama ketika diri pribadi pertama kali menginjakkan kaki ke kota Ngawi, Jawa Timur. Alih-alih untuk berwisata, jadwal yang padat, membuat niatan bekerja sekaligus liburan mau tak mau harus dibuang jauh-jauh.
Berkat kutipan berharga dari Jean – Paul Sartre yang menjadi pedoman saya sedari dulu, mengungkap ‘satu-satunya tindakan yang sah adalah tindakan-tindakan yang muncul secara spontan,’dikuatkan dengan manajemen waktu yang baik, serta bantuan smartphone dalam mengulik Kabupaten yang namanya diambil dari bahasa Sangsekerta ‘awi’atau bambu. Akhirnya lokasi wisata dengan embel-embel dekat dengan tempat survei kemudian di pilih. Tempat tersebut ialah Benteng Van Den Bosch atau yang oleh masyarakat Ngawi lebih dikenal dengan nama Benteng Pendem (karena lokasinya sengaja dibuat rendah sehingga dari kejauhan tampak terpendam).
Lokasinya pun mudah dijangkau, sampai semua abang-abang becak motor tersenyum saja saat ditanyai akan keberadaan benteng pendem. Mungkin, karena sangking mainstream-nya tempat tersebut, Sama halnya ketika menanyai lokasi Monumen Nasional (Monas) kepada orang Jakarta.
Abang-abang penarik becak motor/ dethazyo
Kembali lagi pada topik, lokasi benteng hanya berjarak kurang lebih 1 km dari dari kantor pemerintahan Kabupaten Ngawi. Kerennya, letak benteng ini sungguh dapat di klaim strategis, betapa tidak, benteng Pendem berada di sudut pertemuan antara Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun.
Hanya dengan merogoh kocek Rp. 2000 saja untuk tiket masuk, saya dapat menelusuri benteng yang dibangun oleh pemerintah Hindia – Belanda pada tahun 1839 – 1845. Tepat pada masa bakti dari Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Mengetahui hal ini tentu mudah-mudah saja, hampir setiap ruangan ataupun bangunan dari benteng entah mengapa foto dari sang gubernur jenderal selalu dipatri di dinding.
foto sang gubernur jenderal Van Den Bosch/ dethazyo
Sejarah awal mula benteng ini hadir itu sekiranya pada abad ke -19 Ngawi menjadi salah satu pusat perdagangan dan pelayaran di Jawa Timur, dan Ngawi dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda di wilayah Madium dan sekitarnya dalam Perang Diponegoro (1825 – 1830).
Perlawanan melawan Belanda pada saat itu sedang puncak-puncaknya, bahkan dipimpin langsung oleh kepala daerah setempat seperti di Madiun di pimpin oleh Bupati Kerto Dirjo, dan di Ngawi dipimpin oleh Adipati Judodiningrat dan Raden Tumenggung Surodirjo. Hingga tepat pada 1825, Ngawi berhasil direbut dan diduduki oleh Belanda. Atas dasar itulah untuk mempertahankan eksistensi, kedudukan serta fungsi strategis menguasai jalur pedagangan Belanda, sebuah Benteng yang selesai pada tahun 1845 dihadirkan sebagai solusi.
wisatawan mengabadikan foto/ dethazyo
Mako Van Den Bosch/ dethazyo
bangunannya sudah rapuh/ dethazyo
jembatan menuju lantai 2/ dethazyo
hal yang tersisa hanya puing-puing saja/ dethazyo
Entah mengapa, saat memasuki benteng yang memilki ukuran bangunan 165 m x 80 m dengan luas tanah 15 Ha, terdiri dari pintu gerbang utama, barak tentara, ruangan kolonel dan komando, serta kandang kuda, tak ada informasi lebih mendalam akan Benteng. Alih-alih sebuah papan berisi informasi,
guide yang menemani saya pun tak mengetahui apa-apa terkait Benteng Pendem, selain spot terbaik untuk mengabadikan foto-foto.
benteng bagian tengah/ dethazyo
tampak depan gerbang tengah/ dethazyo
Hal ini tentu sangat disayangkan, apalagi mengingat benteng ini dulunya dihuni oleh 250 tentara Belanda bersenjatakan bedil, 6 meriam api, serta 60 kavaleri. Keunikkan yang dapat ditangkap oleh mata telanjang terletak pada gerbang utama, ialah bekas pondasi jembatan angkat serta bekas gerigi katrol pengangkat jembatan. Hal ini membuktikan bahwa dulunya gerbang masuk dikelilingi oleh parit selebar ± 5 meter yang dahulunya konon dipelihara buaya buas, sehingga sulit dan berbahaya bagi tawanan serta pekerja rodi yang mencoba melarikan diri maupun pasukan pejuang yang akan menyerang.
Jalan menuju gerbang utama/ dethazyo
Namun sayang, benteng yang gadang-gadang sebagai salah satu warisan
kolonial bernilai historis tinggi, megah, serta bergaya khas kolonial. Justru kondisinya kini tampak tak terawat, beberapa bangunan rasanya telah memasuki fase rusak parah serta banyak ditumbuhi belukar. Jika sampai rencana renovasi hanya sebatas rencana, serta tak ada perhatian khusus dari segenap elemen masyarakat, baik pemerintah sendiri dan juga masyarakat yang peduli. Maka beberapa tahun ke depan benteng ini hanya akan mengisi buku sejerah anak sekolahan.
Untuk itu, mari bersama-sama menjaga warisan yang menjadi bagian dari sejarah bangsa. Kalaupun tak berbentuk materi, tak apa-apa. Kita pun dapat bersama-sama membuat Benteng Van Den Bosch semakin dikenal masyarakat luas, salah satunya dengan meramaikan jagat media sosial. Semangattt..Â
Lihat Travel Story Selengkapnya