Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

Dari Pemuda Untuk Kedaulatan Pangan

30 Oktober 2011   20:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:16 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_139017" align="aligncenter" width="675" caption="aksi hari pangan sedunia di HI"][/caption] Sumpah Pemuda, merupakan momentum yang lahir berkat pemuda-pemuda yang resah dan ingin menyumbangkan sesuatu yang besar bagi bangsanya.Jika kita coba mengenang kembali detik-detik Kongres Pemoeda yang diadakan diWaltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928, maka kita akan tahu bagaimana pemuda-pemuda dari berbagai daerah di Indonesiasaat itu dengan lantang menyatakan ikrar setianya tentang satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Dari sini, semangat persatuan terus menggema, mengalir, dan akhirnya melahirkan kemerdekaan yang begitu lama dicita-citakan. Merdeka adalah berdaulat atas apa yang kita miliki. Pertanyaannya, apakah kita sudah benar-benar merdeka? Apakah kita sudah benar-benar berdaulat?

Ucapan “Selamat Hari Sumpah Pemuda” seringkali terucap dan selalu menghiasi social media seperti Facebook, Twitter, di tiap kali hari peringatannya. Namun, makna sumpah pemuda itu sendiri seringkali terlewatkan dan hanya menjadi momentum seremonialserta rutinitas belaka dan serta-merta menguap di hari berikutnya. Miris memang.

Pemuda saat ini tentu berbeda dengan pemuda zaman dulu, baik dari segi kekritisan maupun cara pandang terhadap satu permasalahan. Ada berbagai momentum kepemudaan dengan bermacam tema yang mempertemukan pemuda di dalamnya. Di level Internasional, Pemuda Indonesia seringkali berpartisipasi dalam agenda-agenda kepemudaan, namun sangat sedikit impact yang dibawa dari agenda-agenda tersebut. Sekali lagi, hal ini menguatkan dugaan bahwa pemuda hari ini masih menganggap momentum ‘perjumpaan’ kaum muda hanya sebatasajang perjumpaan biasa tanpa ada misi lebih lanjut terkait agenda kebangsaan.Pemuda harusnya mampu membawa pesan kebangsaan dalam berbagai ekspresi kepemudaan.

Pemuda dan Pangan

Panganmerupakan salah satu persoalan besarbangsa yang memerlukan pendampingan penuh kaum muda. Mahalnya harga pangan, tingginya angka kelaparan serta meningkatnya jumlah petani miskin akibat lahan yang makin berkurang.

Belum lagi persoalan impor pangan yang menggerus petani kita. Sampai saat ini impor pangan Indonesia mencapai Rp. 110 trilyun/tahun, yang terdiri dari kedelai sebesar 2,2 juta ton/tahun atau sekitar 70-80% total kebutuhan kedelai nasional. Di samping itu Indonesia masih harus mengimpor gandum sebesar 4,5- 5 juta ton/tahun, yang meliputi hampir 100% kebutuhan gandum nasional, jagung sebesar 1 juta ton/tahun, dan beras sekitar 1 juta ton pada tahun 2010.kenyataan ini harusnya cukup menjadi alasan kuat bagi kaum muda untuk segera bertindak dan melakukan sesuatu.

Soekarno pernah berkata “Soal pangan adalah soal hidup dan mati.” Mengutip kata beliau dengan lantang pada saat peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertaniaan di Bogor, 27 April 1952. Dengan lantang beliau mengatakan “ terbangunlah satu bangsa Indonesia baru yang badannya sehat-kuat karena cukup persediaan pangan, yang dijiwanya dinamis, tangkas , perkasa.”

Hanya sebuah perkataan usang jika kita hanya menanggapi dengan kata “super sekali.” Permasalahan pangan bukanlah bak telenovela di layar kaca yang sewaktu-waktu ceritanya dapat di tebak. Jika kita (pemuda) benar-benar optimis untuk bangkit dari keterpurukan maka niscaya Bung Karno akan tersenyum. Kalimat yang beliau lontarkan tidak percuma.

Kita tidak perlu Gennie in Bottle seperti Aladin untuk membuat perubahan. Sudah seharusnya pemuda dapat menjadi aktor utama dalam menunjukkan kepedulian mereka. Baik dengan cara menyuarakan maupun turut menggagas ide-ide perubahan. Biarlah para elit politik tertawa dahulu melihat pemuda yang zaman sekarang dengan Blackberry di tangan serta Contact Lens di mata. Ibarat permainan sepak bola. Tidak penting awalnya buruk yang terpenting hasil akhir. Perlu diketahui, masalah pangan bukan hanya melulu soal perut yang lapar, lebih daripada itu pangan dapat menjamin kehidupan yang layak bagi petani.

Apa yang bisa kita perbuat? hal kecil pun jika secara sustainable lambat laun pasti membuahkan hasil. Cara sederhana dan tidak perlu bersusah-susah adalah dengan kita mencintai dan mengkonsumsi produk pangan lokal. meskipur ada anggapan bahwa bahwa produk pangan lokal tidak memenuhi mutu dan gizi. Tapi apakah kita percaya dengan hal itu? Mari berpikir jernih, produk impor notabene telah berhari-haridipendam selama proses impor ke Indonesia. permasalahan masalah mutu, kualitas serta kesegaran produk menjadi pertanyaan mendasar akan produk pangan impor tersebut.

Perubahan ada di tangan kita sekarang, sudah saat kita bijak dalam memilih antara pangan lokal dengan pangan impor.So,  do you know what you eat?

Sumber Foto: Dok. Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun