Bagi seorang anak, sosok ibu adalah sebentuk semangat. Yang paling menarik, ibu jadi sekolah pertama sang anak. Peran ibu dalam mendidik anak-anaknya begitu besar. Juga dalam hal menanamkan nilai-nilai kehidupan. Sederet tokoh bangsa dari Pangeran Serang II hingga Soekarno membuktikan daya magis seorang ibu. Sebab, keberanian dan kesusksesan sang anak, selalu ada ibu perkasa di belakangnya. Sebagaimana ungkapan Belanda menyebutkan: moeder is alles (Ibu adalah semua).
Ungkapan di atas bukan sebuah pepesan kosong belaka. Peran wanita (Ibu) dalam kehidupan di dunia begitu besar. Ia dapat melakukan apa pun. Antropolog, Marvin Harris pernah mengungkap, wanita, secara jasmani dan rohani mampu mengerjakan segala tugas dasar produksi dan keberlangsungan hidup secara mandiri, bahkan tanpa bantuan laki-laki.
"Wanita dapat melakukan setiap pekerjaan yang bisa dilakukan oleh laki-laki, meski kurang efisien bila yang dibutuhkan tenaga kasar. Perempuan mampu berburu dengan anak panah dan busur, mencari ikan, memasang jebakan, dan menebang pohon jika diajari atau diperbolehkan belajar," ungkap Harris dalam buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (2019).
Untuk itu, Presiden Pertama Indonesia, Soekarno selalu menyanjung peranan sang ibu, Ida Ayu Nyoman Rai (1881-1958). Ibunya, kata Bung karno dapat menjelma menjadi apa saja, sama seperti yang diungkap Marvin Harris. Kadang kala menjadi seorang guru, perawat, hingga teman akrab, dan pendongeng.
Terkait menjadi seorang pendongeng, Bung Karno bercerita panjang lebar terkait masa kanak-kanaknya yang tak seperti masa sesudah kemerdekaan. Soekarno kala itu tak mendapatkan asupan cerita-cerita bermutu seperti di televisi atau cerita dari dunia barat (Wild West) yang dibumbui. Alhasil, cerita-cerita kebangsaan dan kepahlawanan selalu diceritakan ibunya kepada Kusno kecil --nama kecil Bung Karno---selagi waktu senggang.
"Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika: Berbeda-beda tapi satu jua. Kembali kepada kisah bapakku, betapa sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satusatunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu," ucap Bung Karno dikutip oleh Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Setelahnya, sang ibu terus memberikan motivasi kepada sang anak. Menurut Bung Karno, julukan Putra Sang Fajar adalah pemberian ibunya. Pada suatu ketika sang ibu membesarkan hati sang anak dengan berkali-kali menyebutkan bahwa Soekarno akan menjadi seorang pemimpin dari Rakyat Indonesia.
"Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia (ibu) memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, 'Engkau sedang memandangi fajar, nak.' Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing," cerita Bung Karno.
Benar saja, apa yang diucapkan oleh ibunya menjadi kenyataan. Putranya lalu muncul menjadi salah seorang yang menggelorakan semangat kaum bumiputra merebut kemerdekaan Indonesia. Pada akhirnya, Soekarno bersama Mohammad Hatta menjadi proklamator kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelahnya, Bung Karno menjadi Presiden Indonesia Pertama, didampingi oleh Mohammad Hatta sebagai wakilnya.
Tak hanya bung Karno yang menyanjung ibunya. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Pangeran Serang II pun dibuat kagum oleh peranan sang ibu yang memotivisinya melawan Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830). Ibunya lazim dikenal dengan nama Raden Ayu Serang atau Nyi Ageng Serang (1752-1838). Dikutip dari Sejarawan Peter Carey dan Vincent Houben dalam buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (2016), sejarawan tersebut mengungkap Pangeran Serang II menjadikan sosok ibunya sebagai guru sekaligus mentor sang anak melawan kuasa Belanda.