Sewaktu kecil, saya sering kali diajak oleh kedua orang tua guna menyambut sanak famili yang baru pulang melaksanakan ibadah haji dari tanah suci (Mekkah). Biasanya tradisi ini diawali mulai dari tahap penjemputan mereka yang baru pulang haji, baik di Bandara ataupun di Pelabuhan.
Hal yang menarik itu, sungguh terlihat pada saat saya sudah menjemput, lalu bersama-sama rombongan melangkah menuju rumah (jama'ah haji)Â untuk melakukan sholat syukur karena dapat kembali ke tanah air, dan larut dalam ajang silaturahmi.
Saat berada di rumah, tak hanya orang-orang yang menjemput saja memiliki kesemptan untuk bersilaturahmi. Terlebih hal yang sama, dapat pula dilakukan orang-orang yang tak sempat menjemput, berbondong-bondong datang guna bersilaturahmi dalam ragam tujuan.
Ada yang ingin mendengar cerita pengalaman berhaji (sembari menikmati buah kurma), ada yang ingin ketularan berkah berbalut (supaya dapat segera melaksanakan ibadah haji), serta ada yang ingin mendapatkan oleh-oleh (seperti air zam-zam, baju muslim, Al Quran, dan lain-lainnya).
Khusus saya (karena sudah sering diajak), momen mendengarkan ceritalah yang paling ditunggu. banyak diantara cerita pengalaman haji, cukup menarik untuk disimak.Â
Baik dalam hal keajaiban yang didapat tanah suci, pedagang arab yang jago berbahasa Indonesia, orang-orang baik yang berbagi makanan (kadang duit riyal) kala menunaikan ibadah haji.
Rata-rata kisah yang dituturkan, mengungkap hal-hal bahagianya saja. Sampai suatu ketika ada sesepuh dari sanak famili yang bercerita terkait kakeknya yang berhaji pada masa Hindia Belanda.
Sebuah masa dimana perjalanan haji masih menggunakan kapal laut, terombang ambing dilautan selama 4 sampai 6 bulan, bahkan sampai-sampai menganggap perjalanan ibadah haji pada zaman dahulu itu ibarat pergi berjihad (nyawa menjadi taruhannya).
Tempo itu pun, ungkapnya, orang yang berangkat haji (selama diatas kapal)Â langsung putus kontak dengan keluarga yang dicintainya karena tak ada alat komunikasi canggih. Senada dengan cerita diatas, cerita yang sama pun turut dituturkan oleh Abdul Chaer (Budayawan) Â dalam bukunya berjudul "Betawi Tempo Doeloe."Â
Ia mengungkap pandangannya terkait berhaji dimasa kolonial: "Orang yang pergi berhaji tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarga di tanah air, dan keluarga di tanah air tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarganya yang pergi haji karena pada saat itu belum ada alat-alat komunikasi seperti yang ada dewasa ini."
Belum lagi, cerita terkait orang-orang yang pada masa itu relatif belum mampu secara finansial, dengan modal nekat ikutan-ikutan menunaikan rukun iman ke-5 (padahal sudah jelas gaungnya: naik haji bila mampu).Â