Jikalau diharuskan menulis surat untuk menyemangati sesama bagi yang dilanda kesukaran selama bulan Ramadan (bahkan sampai bulan-bulan berikutnya), guna terus semangat, terus bergelora, dan terus berjuang.Â
Maka sudah pasti surat tersebut akan tertulis untuk para pejuang lingkungan yang selama ini berjuang mempertahankan haknya, mempertahankan kampung halamannya, mempertahankan tanahnya, mempertahankan mata pencahariannya, dan mempertahankan apa yang mereka yakini benar.
Sebut saja pesan ini teruntuk mereka yang terus menggelorakan semangat Bali Tolak Reklamasi. Warga pegunungan Kendeng yang terus berjuang memperoleh keadilan, Para pejuang lingkungan di Sumbawa, yang tetap semangat tanpa lelah dalam menjaga ekosistem mangrove agar tetap lestari, serta mereka yang tak sempat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.
Teruntuk nama-nama yang disebutkan diatas, jelas, saya pribadi angkat topi. Semangat Bali Tolak Reklamasi teluk Benoa telah sedari dulu digaungkan setelah mantan presiden (yang baru saja berduka) Susilo Bambang Yudhoyono, menerbitkan Perpres Nomor 51/2014 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45/2011 mengenai Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan.
Itulah gerbang yang membuka peluang dan mengizinkan reklamasi di wilayah konservasi Teluk Benoa. Berupa berubahnya zona konservasi jadi zona budidaya. Dalam artian, sekitar 700 hektar teluk Benoa, dapat direvitalisasi, termasuk didalamnya kegiatan reklamasi, yang disanyalir akan membawa dampak kerusakan lingkungan, pemiskinan masyarakat asli, penghancuran lingkungan hidup, dan ancaman bencana alam.
Para perempuan pegunungan Kendeng pun tak mau kalah, benih-benih perlawan dituangkan dalam lirik "Yen to Kendheng den kiwakna...Putusan pangwasa teges anti tani Pak Jokowi, ngaten niku? Kang pangwasa kersakna? Lamun ngaten kula namung saget nguwuh...Lmah banyu angin dayanya... Uripa kanggo mbengkasi..."Â atau bila artikan menjadi "Bila Kendeng diabaikan...Keputusan penguasa berarti anti petani... Begitulah, Pak Jokowi? Yang dikehendaki para penguasa? Jika memang begitu, kami hanya bisa meminta...Kekuatan tanah, air dan angin."
Jika surat ini dianggap anti pembangunan, maka jelas Anda salah besar. Perlu dipahami, menolak bukan berarti pula saya atau mereka anti dengan pembangunan (karena menggelorakan semangat penolakan), tapi kita akan mendukung pembangunan sesuai dengan asas dibawah ini:
Pertama, asas manfaat, artinya bermanfaat bagi masyarakat Indonesia dan berkeadilan sosial, dan bukan malah adil pada pemodal, yang justru memasung bangsa sendiri sebagai tumbal atas nama pembangunan.
Kedua, asas kemadirian, dimana kita dapat memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya lokal secara bijaksana, apa yang sudah menjadi milik kita, itulah yang dikembangkan.
Ketiga, asas keberlanjutan, bahwa pembangunan tak melulu berbicara pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pelestarian lingkungan demi anak cucu kita.
Ketika sudah begitu, saya pribadi akan berada di garda terdepan untuk mendukung pembangunan sampai kapan pun. Jika tidak, melalui semangat idul fitri (hari kemenangan), maka cuma ada satu kata yang senantiasa tak bisa dibungkam: LAWANNNN!!
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
"Maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yang mana?"
(Sepenggal Sajak Rendra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H