Bagi Maria Sharapova, Sumbawa adalah tempat dimana ia jatuh cinta akan keindahan. Bagi Napoleon Bonaparte, Sumbawa adalah alasan ia kalah telak oleh dalam pertempuran Waterloo (1816) karena letusan gunung Tambora. Bagi para investor, Sumbawa adalah ladang subur yang siap ditanami investasi karena sangking kayanya sumber daya alam yang terkandung. Dan bagi diri pribadi, Sumbawa lebih dari itu semua, Sumbawa adalah tempat berpulang serta tempat dimana mimpi awalnya dirangkai, dan dengan bangganya, saya menyebutnya dengan rumah.
Sekalipun sudah merantau semejak tahun 2010 ke ibukota (Jakarta), rindu akan pulang ke Pulau Sumbawa selalu mendominasi pikiran. Rindu akan hangatnya kampung halaman, rindu akan pantai-pantainya, dan rindu akan keindahan dari pulau-pulau yang berada disekitarnya. Oleh karenanya, setiap tahun, paling tidak, moment kembali pulang bisa 2 kali dilangsungkan. Pertama, saat ada libur panjang menyapa. Kedua, saat mudik lebaran.
Melalui kedua moment tersebut. Tetap saja, moment mudiklah yang paling dinanti. Kenapa? Karena disitulah teman-teman sepermainan yang berada sama-sama di rantauan, memilih untuk pulang ke kampung halaman. Otomatis, waktu-waktu berkualitas bersama teman, sahabat dan keluarga akan tersita banyak dalam balutan kebersamaan.
Meski Lebaran kali ini sedikit dinodai dengan tiket pesawat yang tak kunjung turun serta terbatasnya barang bawaan (karena bagasi berbayar), tapi, itu bukannya sebuah masalah besar. Semahal apapun tiket, yang jelas, akan lebih mahal, jika ditahun ini tak dapat berkumpul bersama-sama keluarga.
Bagi mereka yang masih menganggap mudik ke Sumbawa itu mahal. Satu hal yang pasti, seperti yang diungkap oleh William James (filsuf), "mengetahui sesuatu tidak sama dengan mengalaminya sendiri." Karena mereka tak tahu bagaimana sensasi, pengalaman, kesukacitaan, dan euphoria, yang dirasakan kala memasuki Poto Tano (Lawang Desa) atau yang dikenal sebagai gerbang memasuki Pulau Sumbawa.
Mudik Rasa Liburan
Sekalipun Pulau Sumbawa tak setenar Pulau Lombok di mata khalayak luas, bagi kami, tentu tak mengapa. Setidaknya, Sumbawa tetaplah tenang dan nyaman ditinggali tanpa terusik oleh arus gilanya ekploitasi (belakangan ini) akan keindahan alam, yang sering kali hanya mengeruk keuntungan tanpa tahu bagaimana akan menjaganya tetap lestari.