Bulan Ramadan tak hanya mengundang berkah dan pahala semata, karena setali dengan itu, kebiasaan masyarakat yang ingin sedikit berbagi rejeki kepada orang yang membutuhkan, tanpa disadari mengundang banyak orang yang mengproklamirkan diri memanfaatkan momentum sebagai seorang dengan banyak label, mulai dari pengemis, batur, jembel, ataupun gelandangan yang senantiasa memenuhi tempat-tempat tertentu, mulai dari lampu merah, terminal bis, hingga tempat wisata.
Kebaikkan seseorang serta bulan Ramadan yang notabene bulan penuh berkah, dapat menjadi alasan kenapa gelandangan makin menjamur belakangan ini. Tapi tahukah Anda, bahwa ternyata masalah gelandangan ini, sudah ada sedari dulu, Bahkan jauh sebelum Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan.
Menurut informasi, Gelandangan yang biasa defenisikan secara umum sebagai orang-orang yang tak memiliki pekerjaan tetap maupun tempat tinggal, mulai dirasakan kehadirannya tepat pada akhir abad ke-18, yang mana berasal dari laporan orang barat  bersumber dari gubernur, sampai residen.
Mereka mengungkap, seperti yang dituliskan oleh Onghokham dalam kolomnya yang berjudul Gelandangan dari Masa ke Masa (Tempo, 17 Juli 1982), "antara Yogyakarta dan semarang terdapat sekitar 35.000 pekerja kasar, yang disebut batur. Batur ini bercelana cawet, tidak memakai baju, tidak punya rumah tetap, tiak juga berkeluarga tetap. Kebanyakkan mereka bekerja sebagai pengangkut barang atau kuli (istilah yang baru timbul pada abad ke-19) kasar. Karena itu para batur ini dikatakan sering berdiam didekat pasar, sebab disanalah banyak barang yang diangkut."
Tak hanya di Indonesia, menurut pak Ong (sapaan akrab pak Onghokham) fenomena gelandangan tenyata lebih dulu menyasar daratan Eropa. Mereka menyebut gelandangan sebagai Vogrants. Namun agak sedikit berbeda dengan gelandangan di Indonesia, para Vogrants ini sangat membayakan keamanan, yang berarti apabila ada kesempatan untuk mencuri, mereka akan melakukannya. Oleh sebab itu, mereka dianggap sebagai pengacau dan sedapat mungkin dijauhkan oleh golongan mapan.
itu pada abad ke 18, pada abad ke 19, istilah batur lambat laun berubah menjadi kuli kasar, dan kemudian, di abad 20, sebuah kelompok yang hampir mirip dengan kondisi batur ialah tukang becak dan kuli kasar lainnya. Meski begitu kondisi mereka sering dikategorikan sebagai agak "liar." Dalam artian tetap tanpa tinggal tetap, bahkan kadang becak-nya sering kali dijadikan tempat tidur.
Setidaknya kita paham, bahwa yang disebut batur dulunya sempat menjadi penghubung antara kesatuan atau sel pasukan diponegoro di wilayah Jawa Tengah saat perang Diponegoro berlangsung. Namun yang disayangkan, para batur atau kuli yang dipakai Diponegoro sebagai pengangkut barang atau penghubung, tak ingin pulang ke desa setelah kedaimaian pulih.
Akibatnya, mereka menjelajah ke ragam tempat sebagai gerombolan liar, dan Denys Lombard, dalam bukunya Nusa Jawa mencoba menerawang bahwa "Mereka disebut dan dikecam sebagai zwervers en trekkers, pengembara dan gelandangan, yang berada di pinggiran kota besar, khususnya di Batavia, dan mengancam ketertiban sosial,"
Meski begitu, tetap saja Batur masih memiliki pekerjaan, walaupun serabutan. Hal ini, otomatis membuat batur terlihat lebih baik, dibanding dengan para jembel (istilah yang popular semasa pendudukan Jepang).
Jembel inlah contoh paling ekstrem dari para gelandangan. Pakaian combing-camping serta raga yang lelah karena disinyalir kelaparan, menjadi bukti bahwa telah terjadi kesenjangan ekonomi pada masa mendekati Indonesia merdeka. (kini pun kurang lebih sama).
Melalui prasangka Belanda mereka dianggap sebagai pengacau. Melalui prasangka Jepang mereka dianggap sebagai penyakit. Dan melalui prasangka politikus dalam negeri mereka dianggap alasan kenapa demokrasi tak berkembang, Sekalipun suara mereka tetap dihitung satu dalam pemilihan umum( pemilu), tanpa adanya suatu gerakan dari segenap pemerintah pusat, daerah dan bersinergi dengan masyarakat, para jembel tetap-lah gelandangan.