Nama : Deta Aisyah Maylafayza
NIM : 07041282227139
Dosen Pengampuh : Nur Aslamiah Supli, BIAM., M.Sc
Latar Belakang
Menurut Human Right Watch, Pada Februari 2021, para jenderal yang merencanakan kekejaman terhadap warga Rohingya melancarkan kudeta dan menahan para pemimpin sipil terpilih Myanmar. Junta militer menanggapi demonstrasi massa dengan kampanye nasional pembunuhan massal, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, dan serangan membabi buta yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan, di daerah konflik, kejahatan perang. Unit-unit militer yang telah terlibat dalam kekejaman 2017 -- sejak dijatuhi sanksi oleh Amerika Serikat dan Inggris -- telah dikerahkan dalam operasi baru di seluruh negeri.
Konflik Rohingya-Myanmar ini dianggap telah melanggar keras Hak Asasi Manusia karena kekejamannya. Menurut segitiga konflik, konflik Rohingya-Myanmar penuh dengan kekerasan langsung, kekerasan struktural, maupun kekerasan kultural. Apa yang terjadi dalam konflik ini?
Awal Mula Konflik Etnis Rohingya-Myanmar
Konflik yang terjadi pada Etnis Rohingya dan Myanmar dimulai sejak 5 tahun yang lalu. Konflik ini dimulai pada tahun 2017 oleh kelompok militan Rohingya yang disebut Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) melancarkan serangan yang sudah terarah di puluhan pos polisi di Myanmar yang menewaskan belasan petugas. Setelah serangan pertama tersebut, militer Myanmar menggelar operasi di desa-desa Rohingya dengan alasan mengusir para pemberontak.Â
Militer Myanmar mengatakan berhasil membunuh 400 gerilyawan, tetapi Etnis Rohingya mengatakan sebagian besar yang tewas adalah warga sipil. Menurut keterangan PBB, sedikitnya 1.000 orang tewas dalam dua minggu pertama operasi tersebut.
Konflik terus berlanjut dan Etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, membanjiri kamp-kamp pengungsi yang dibuat seadanya. Padahal sebelumnya sudah ada setidaknya 200.000 warga Rohingya di Bangladesh yang lari dari gelombang kekerasan di Myanmar. Maka dari itu, kritik Internasional menyatakan menuduh militer Myanmar telah melakukan 'Pembersihan Etnis' karena menghancurkan rumah-rumah Rohingya.
Bentuk Kekerasan
Myanmar dituding telah melakukan macam-macam kekerasan. Pada tahun 2018, PBB menuntut panglima militer Myanmar dan lima komandan militer lainnya dengan tuduhan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Dilaporkan oleh 2 jurnalis Reuters bahwa Myanmar telah melakukan pembantaian terhadap Etnis Rohingya. 2 jurnalis tersebut dijatuhi hukuman 7 tahun penjara karena dituduh melanggar undang-undang rahasia negara Myanmar. Oleh sebab itu, upaya untuk memulangkan pengungsi Rohingya ke Myanmar gagal karena mereka menolak untuk pergi tanpa adanya jaminan keselamatan.
Upaya Penyelamatan
Dikarenakan kegagalan upaya penyelamatan ditahun 2018, maka di tahun selanjutnya upaya penyelamatan dimulai kembali. Di tahun 2019 terdapat 3 kali penyelidikan dimulai dari Washington yang mengumumkan sanksi terhadap panglima militer Myanmar dan mengizinkan 3.500 pengungsi Etnis Rohingya untuk pulang, namun pada saat jadwal pemulangan tidak ada satupun pengungsi yang muncul.Â
Selanjutnya Gambia mengajukan gugatan di Mahkamah International ICJ dengan tuduhan Myanmar melakukan genosida atas warga Rohingya, lalu tiga hari setelahnya direspon Mahkamah International ICC yang berbasis di Den Haag untuk melakukan penyelidikan penuh atas penganiayaan yang terjadi. Dan yang terakhir di minggu yang sama kelompok HAM di Argentina menggugat dengan kasus yang sama berdasarkan prinsip yurisdiksi Internasional. Hasil dari penyelidikan tersebut ialah Aung San Suu Kyi yang saat itu menjabat sebagai pemimpin Myanmar membantah tuduhan genosida dan menjelaskan bahwa Myanmar terlibat konflik bersenjata internal.
Pada tahun 2020 ICJ kembali memerintahkan Myanmar untuk mengambil langkah-langkah mendesak untuk mencegah dugaan genosida dan segera melaporkan kembali dalam waktu empat bulan. Namun pada tahun 2021 militer Myanmar merebut kekuasaan dengan menggulingkan pemerintahan sipil. Aung San Suu Kyi dijatuhi hukuman penjara 17 tahun.
Lalu pada tahun 2022, Amerika Serikat mengintervensi dan secara resmi menyatakan bahwa kekerasan tahun 2017 merupakan genosida, dengan mengatakan ada bukti yang jelas dari upaya untuk menghancurkan Etnis Rohingya. Kemudian ICJ memutuskan bahwa kasus yang diajukan oleh Gambia dapat dilanjutkan.
Kesimpulan
Belum ada lanjutan mengenai penyelesaian Konflik Etnis Rohingya-Myanmar. UNHCR bersama UN dan dunia masih berusaha mencari titik terang terhadap Konflik ini. Mengenai penyelesaian perdamaian sudah diupayakan oleh instansi pemegang hukum Internasional. Namun kembali lagi bahwa suatu negara tidak bisa mengintervensi negara tertentu tanpa persetujuan. Maka bentuk upaya seperti diplomasi sangat dibituhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Human Rights Watch. 2022. Myanmar: Tidak Ada Keadilan dan Kebebasan bagi Rohingya Setelah 5 Tahun Berlalu dalam https://www.hrw.org/id/news/2022/08/24/myanmar-no-justice-no-freedom-rohingya-5-years. Diakses pada 27 Februari 2023.
Deutsche Welle (DW) Broadcaster. 2022. Kronologi 5 Tahun Krisis Rohingya dalam https://www.dw.com/id/kronologi-5-tahun-krisis-rohingya/a-62900002. Diakses pada 27 Februari 2023.
Susanti, Avianti. 2014. Jurnal Ilmiah : Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Terhadap Etnis Rohingya Di Myanmar Berdasarkan Hukum Internasional. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
CNN Indonesia. 2023. Berita Harian Konflik Rohingya dalam https://www.cnnindonesia.com/tag/konflik-rohingya. Diakses pada 2 Maret 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H