Tidak adakah alasan yang bisa memungkinkanku melewati hari ini? Andai mesin waktu dijual di toko kelontong Pak Yanto. Aku mau beli sepuluh agar bisa melompat dari hari ini hingga 40 hari kedepan.
Kau tahu? Aku tak ubahnya seperti seorang tuna wisma yang keloyongan kesana kemari membawa segambreng barang. Tas ransel hitam besar bertengger di punggung, satu tas selempang mengalung di leher, masih ada dua tas jinjing yang ada di tangan kanan dan kiriku. Gembel? Ya, semacam itu lah aku sekarang.
Bus-bus besar di sekelilingku menghembuskan napas busuk yang menusuk hidung dan perut. Aku mati-matian menahan hidungku agar tidak menghirup udara terlampau banyak, kalau tidak mungkin aku bisa pingsan.
Aku makin kesal karena tak kunjung menemukan rombongan yang kucari. Setelah hampir dua puluh lima menit tujuh belas detik aku mengelilingi bus-bus yang berbaris ini, akhirnya aku melihat segerombolan anak gembel yang memakai pakaian semacamku.
Oh, Tuhan! Kukira hanya aku yang seperti mau pindah rumah, ternyata mereka lebih parah lagi. Ada yang bawa penanak nasi, timba air, gayung, beras, kompor, huff.. bersyukur aku tidak ada yang bawa tandon air.
Tampang-tampang mereka lesu seperti ayam belum sarapan, mata mereka sayu seperti habis jaga lilin tujuh hari tujuh malam, yang laki-laki rambutnya acak-acakan, yang perempuan pakai jilbab tembus pandang sekenanya. Lalu kulihat tampangku sendiri yang tak jauh dari mereka, sama-sama mengenaskan.
Salah satu dari mereka berkata, "Teman-teman, nanti ada yang ikut bus ada yang naik motor. Yang naik bus tolong barang bawaan kita dijaga," katanya.
'Dih, jijik kita," batinku. Aku lihat kartu nama yang mengalung di lehernya, Pujo Laksono, jadi ini orang yang ditunjuk sebagai ketua di grup kemarin.
Dia mengarahkan kami untuk segera masuk di bus, bus 5.
"Hei, kamu Ramla, kan? Aku mala yang kemarin chat kamu," seru perempuan berkerudung pink fushia. Oh, aku baru ingat kemarin dia minta duduk di sampingku. Aku pun mengiyakan ajakannya, tentu sambil mengulas senyum seramah-ramahnya.
Tak lama kemudian, supir dan kondektur bus yang kami naiki masuk. Klakson telolet dibunyikan sekali, mungkin untuk meningkatkan rasa percaya diri Pak Supir sebelum mengemudi.