Mohon tunggu...
Desy Rosmayawati
Desy Rosmayawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bakul sayur

Hanya seorang penikmat kabut dan ketinggian

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Mendaki Gunung, Dari Menikmati Alam, Belajar Sejarah, Hingga Membangun Ekonomi

17 April 2023   23:59 Diperbarui: 18 April 2023   00:06 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Travelling merupakan kebutuhan bagi kita. Dengan travelling, kita bisa melepas penat setelah sekian waktu bekerja. Tak hanya melepas penat, banyak hal lain yang bisa kita dapatkan dengan travelling. Tak perlu jauh-jauh, kita bisa melakukan travelling ke daerah yang dekat dengan kita, karena saya Bangga Berwisata di Indonesia.

 Saat travelling, otomatis kita "bertamu" ke "rumah" orang lain. Maka, kita harus menjaga destinasi wisata yang kita datangi. Kita harus bisa berbaur dengan warga lokal agar tercipta harmoni.

Saya sendiri lebih suka mendaki gunung. Tak perlu jauh-jauh, yang penting jalan. Sejak berangkat, jiwa akan bebas, karena kita akan bertemu dan melakukan perjalanan dengan teman-teman sehobi, sefrekuensi. Bila perjalanan menggunakan kendaraan umum, maka kita pun akan bertemu dengan banyak orang baru. Dengan berkenalan dengan irang baru, akan banyak hal yang kita dapatkan. Meskipun sekarang ada ponsel yang bisa segalanya, tetapi saya lebih memilih berbincang dengan orang di sekitar saat melakukan perjalanan. Ponsel hanya saya pergunakan untuk mengabadikan sebuah momen.

 Pernah suatu saat saya ke Bandung untuk mengikuti sebuah acara dengan komunitas pendaki, dan saya berkenalan dengan seseorang di kereta. Perbincangan yang paling seru pada malam itu adalah tentang pantangan seorang wanita Sunda menikah dengan lelaki Jawa. Mbak Hana adalah salah satu korban mitos itu. Mbak Hana yang orang Sunda, 3 kali pacaran dengan pria Jawa dan berakhir kandas semua.

Kembali ke mendaki gunung. Saat ini, mendaki bukan sekadar hobi, tetapi sudah menjadi gaya hidup. Gunung didaki bukan hanya oleh orang-orang yang punya hobi mendaki, tetapi juga oleh orang-orang yang hanya ingin mencapai puncak untuk sekedar selfi. Kadang, mereka hanya mendaki tanpa ilmu. Kadang, mereka tak memperhatikan sekitar. Banyak juga yang buang sampah sembarangan.

Hal inilah yang terus menjadi masalah dari waktu ke waktu dan maaih menjadi "PR" untuk kita semua. Sampah. Untuk para pendaki, sebaiknya menanamkan ke dalam dirinya sekuat mungkin untuk membawa turun sampah.


Ingatlah Kode Etik Petualang, yaitu:


1. Jangan Mengambil Apa pun Kecuali Gambar.


Godaan yang paling besar saat mendaki adalah mengambil sesuatu dari gunung, contohnya bunga Anaphalis Javanika atau lebih populwr dengan nama Bunga Edelweiss. Bunga indah itu merupakan flora yang dilindungi, maka biarkan dia hidup di tempatnya agar tetap abadi dan keindahannya bisa dinikmati anak cucu kita.


2. Jangan Meninggalkan Apa pun Kecuali Jejak Kaki.

Sudah jelas ya kalimat ini. Hanya jejak yang boleh kita tinggalkan. Jangan sampai meninggalkan sampah, coretan atau vandaliame di pohon atau bebatuan.

3. Jangan Membunuh Apa pun Kecuali Waktu.


Jangan pernah membunuh makhluk hidup lain.


Jika hal ini dilakukan, tentu akan bisa meminimalisir sampah di gunung dan kelestarian alam bisa terjaga.

Beberapa pegiat alam sempat menulis "Gunung Bukan Tempat Sampah," atau "Bawa Turun Sampahmu." Mereka tidak hanya berteriak, tetapi beraksi nyata. Saya pun pernah mengikuti aksi bersih sampah di gunung. Aksi pertama saya tahun 1999, bersama Sekretariat Bersama PPA DIY melakukan "Bersih Gunung Merapi." Bukan hanya saat acara saja, tetapi saat kami mendaki pun kami akan membawa turun sampah kami, sehingga gunung tetap terjaga kebersihannya.

Pendakian saya yang terakhir di 2022 di Gunung Lawu, lewat jalur Singolangu. Jalur tersebut sangat bersih, karena jarang dilalui orang. Pada saat kami naik, tak kami temukan sampah di sepanjang jalur. Berbeda sekali dengan jalur lain yang lebih populer dan sering dilewati orang. Jalur tersebut diyakini sebagai jalur pelarian Prabu Brawijaya V. Di sepanjang jalur, terdapat banyak sekali situs. Sambil mendaki, kita belajar sejarah juga, 'kan?

Saat mendaki pun, kami akan bertemu dengan warga lokal di kaki gunung. Biasanya, kami istirahat dulu di base camp sebelum dan sesudah mendaki. Otomatis, kita akan berinteraksi dengan warga sekitar dan kearifan lokalnya. Misalnya di Lawu jalur Singolangu. Desa itu terkenal sebagai penghasil susu. Waktu itu, kami juga membeli hasil olahan susu dari desa itu seperti susu dan yoghurt untuk kami bawa naik. Walaupun kecil, setidaknya kami membantu perekonomian desa tersebut. Apalagi saat pulang, kami juga membeli lagi susu dan memberikan kepada teman lain sebagai oleh-oleh. Kami juga menceritakan hal itu pada kawan yang lain, sehingga bukan tak mungkin mereka juga akan tertarik berkunjung. Satu poin lagi didapat, yaitu membangun dan memanfaatkan jaringan.

Lain cerita di Gunung Sumbing. Terakhir saya mendaki Gunung Sumbing lewat Bowongso. Di sana terkenal dengan kopinya, yaitu Kopi Bowongso. Saat kami di base camp, waktu itu di rumah Pak Dukuh, beberapa teman menghabiskan malam sebelum pendakian di rumah salah satu warga yang memiliki warung kopi. Teman-teman juga membeli kopi untuk diseduh saat naik. Sebelum pulang, kami pun membeli kopi lagi sebagai oleh oleh untuk yang di rumah.

Ada sebuah kearifan lokal di Gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah via Bowongso ini. Setiap pendaki diwajibkan membawa santan dan kopi saat naik, dan dibawa hingga turun lagi. "Ubo rampe" itu akan diberikan oleh yang berjaga di base camp saat kita akan naik. Mereka percaya, bila itu merupakan tolak bala saat mendaki, karena kami para pendaki adalah tamu, dan ada tuan rumahnya, maka kedua barang itu bisa menjauhkan dari gangguan jin Gunung Sumbing. Saya sendiri tidak percaya dengan benda benda atau jimat, tetapi demi menghormati kearifan lokal masyarakat, saya tetap membawanya dengan memasukkan ke saku samping tas.

Ada kejadian cukup aneh waktu itu. Rombongan belakang saya tiga orang, salah satunya jatuh hingga tak sadarkan diri. Menurut yang kami dengar, orang itu sempat mengumpat saat diberi kopi dan santan, lalu membuangnya. Mungkin itu hanya kebetulan atau cocoklogi, tetapi memang itulah yang terjadi.

Tahun lalu, saya kembali mengunjungi Bowongso bersama suami, tetapi bukan untuk mendaki. Saya hanya ingin merasakan pelukan kabut Gunung Sumbing. Saat itu, sudah banyak yang berubah. Base camp sudah berpindah. Di bawah base camp sudah ada banyak warung. Akhirnya kami memutuskan untuk singgah di salah satu warung. Kami mengobrol dengan si empunya warung yang ramah ditemani segelas Kopi Bowongso yang asapnya mengepul, berkejaran dengan kabut tipis yang turun. Saat pulang, kami pun membeli Kopi Bowongso.

Begitulah, bila semua mau bersama menjaga, maka keharmonisan akan tercipta, baik antar manusia, maupun antar makhluk Tuhan, juga lingkungan. Salam Lestari.

Jogja, 17 April 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun