Dalam dunia kerja, tentu kita sudah sering mendengar istilah Pemutusan Hubungan Kerja atau yang sering disingkat dengan kata PHK. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.
PHK kerap kali menimbulkan keresahan khususnya bagi para pekerja. Bagaimana tidak? Â Keputusan PHK ini tentunya akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup dan masa depan para pekerja yang mengalaminya.Â
Belum lagi, besarnya pengaruh kewenangan pengusaha dan minimnya pemaham para pekerja terhadap Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), seringkali memunculkan sikap kesewenangan pengusaha terhadap pekerjanya yang salah satunya yaitu PHK yang dilakukan tanpa memalui prosedur dan tidak memenuhi hak-hak yang seharusnya diterima pekerja sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku atau bahkan beberapa pekerja masih tidak mengerti bahwa ada beberapa alasan yang menyebabkan suatu perusahaan tidak dapat memPHK pekerjanya.
Lalu, apa saja beberapa alasan yang menyebabkan perusahaan dilarang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut?. Alasan-alasan tersebut termaktub dalam Pasal 153 UU Ketenagakerjaan, yakni:
- Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus. Setelah 12 (dua belas) bulan pengusaha dapat melakukan PHK sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau pekerja/buruh tetap bekerja dengan upah 25%, (dua puluh limaperseratus) pada keadaan ini bila pekerja/buruh merasa berkeberatan  untuk  melanjutkan  hubungan  kerja  maka pekerja/buruh   dapat   mengajukan   pengakhiran hubungan  kerja  sesuai  dengan  peraturan  perundang-undangan;
- Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya, karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Pekerja/buruh menjalankan idabah yang diperintahkan agamanya;
- Pekerja/buruh menikah;
- Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
- Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; (frasa "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama" sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstutusi melalui putusan MK Nomor 13/PUU-XV/2017)
- Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
- Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; dan
- Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Lalu bagaimana bila ada perusahaan yang melakukan PHK dengan alasan-alasan di atas? PHK tersebut batal demi hukum dan perusahaan/pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan (Pasal 153 ayat 2 UU Ketenagakerjaan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H