Wacana tentang demokrasi, pemilu dan rakyat selalu menjadi perbincangan yang jelas bagi kita. Apalagi jika suasana tahapan pemilu lima tahun 2024 mulai kental. Dinamika politik, wacana pencalonan angkringan dan mind mapping gerakan partai telah memoles gaya politik kita saat ini.
Namun, pertanyaan tetap ada tentang isu-isu mendasar dan substantif seputar demokrasi, tentang makna ritus pemilu yang kita rayakan dengan partai-partai berkala, atau tentang fantasi bangsa yang menciptakan cita-cita negara, "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Mungkinkah ada nilai luhur dalam pemilu yang hanya bermain untuk kepentingan elit politik?
Pertanyaan ini memicu ide-ide baru untuk memberikan catatan kritis tentang demokrasi dan pemilu kita. Aktivitas politik yang tidak sehat, yang dapat merugikan mentalitas dan rasionalitas negara di masa depan, harus diantisipasi dengan argumentasi dan langkah yang progresif.
Nur Elya Anggraini memaparkan secara rinci demokrasi dan kerentanan politiknya dalam pemilu dalam buku Insider's Notes (2022). Namanya juga sengketa politik, kepentingan menang akan dilakukan. Namun, ada secercah harapan dalam pernyataan penulis berikut ini, yang diyakini mampu menata kembali demokrasi kita. Pertanyaannya, apakah kekuatan masyarakat sipil mampu mengendalikan ini?
Inilah alasan mengapa kaum sofis di zaman Yunani kuno mengandalkannya untuk meniadakan sistem demokrasi dalam kegiatan kenegaraan. Bagi mereka, perumusan kebijakan yang dihasilkan oleh sistem demokrasi hanya menghancurkan tatanan negara yang ideal. Karena kaum sofis melihat banyak individu yang tidak bijak dalam menggunakan haknya. Dasarnya bukan akal, tapi realitas kepentingan
Belajar dari Pemilu Lalu
Ada banyak evaluasi dari pemilu yang lalu. Misalnya, penghancuran isu kontrapropaganda, kekerasan fisik dan mental terhadap polisi, serta politisasi suku dan agama sebagai bagian dari politik identitas, dan yang paling ironis, praktik politik uang. Persaingan telah menjelma di pasar, transaksi suara tersebar di mana-mana. Hal ini tentu saja dilakukan untuk menjatuhkan lawan dalam peristiwa politik dan merumuskan isu dan doktrin untuk menarik perhatian publik.
Kemudian situasi pandemi dan kehendak digitalisasi. Covid-19 dan dunia maya yang menjadi bagian dari doktrin perubahan telah mendikte terbentuknya tatanan baru, termasuk sistem pemilu. Masalah yang kita hadapi tentu lebih kompleks. Politik buta yang telah kehilangan martabat moralnya menjadi sistematis dan masif di ruang digital. Itu menjadi suara tersembunyi di mana jari-jari yang menari dapat menghancurkan kewarasan kita dalam satu gerakan. Seperti sirkulasi kebijakan moneter pada Pemilu 2014, distribusi publik yang diametral pada Pemilu 2019, hingga Pilkada 2020 yang sarat dengan politisasi bantuan sosial di tengah defisit pemerintah akibat pandemi.
Dengan demikian diperlukan upaya untuk menghidupkan kembali kesadaran kolektif masyarakat melalui proyeksi tatanan sosial borjuis yang ideal dalam konsep negara dengan sistem demokrasi. Fenomena demokrasi dewasa ini perlu disegarkan dengan ide-ide yang jernih.
Ide-ide cerdas tersebut antara lain membentuk pemilih partisipatif, fokus pada keterlibatan perempuan, membangun literasi digital, membangun karakter ideal petugas baik secara pengalaman maupun moral (pemimpin sosial), dan menginisiasi big data sebagai pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat. Dalam hal ini KPU dan Bawaslu harus mampu menyeimbangkan antara situasi dan tantangan pemilu yang semakin sulit dari waktu ke waktu.
Bawaslu bahkan membuat terobosan baru untuk mengatasi kekurangan dan menyesuaikan dengan relevansi perkembangan zaman. Sebagai contoh, banyak kegiatan dan kerangka kerja telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Seperti penyelenggaraan Sekolah Bingkai Pengawasan Partisipatif (SKPP) yang banyak melibatkan generasi muda secara berani (2020), penataan ulang sistem pemantauan pemilu yang cepat dan akurat di jaringan media (2021), pelatihan literasi dan desain yang cepat dan akurat. dari sistem pemantauan pemilu di jaringan media (2021), Hoof juga mengedarkan pelatihan hak asasi manusia dan akses digital (2021).