Pemberdayaan masyarakat di tingkat rukun warga yaitu RW tepatnya di kelurahan dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang. Salah satunya adalah membuat kampung tematik dengan harapan bisa meningkatkan perkonomian masyarakat.Â
Namun sayangnya, dari 209 kampung tematik yang dibentuk sejak tahun 2016 hingga tahun 2019, hanya ada 28 kampung tematik yang berkembang dan naik kelas. Sisanya, 131 kampung tematik ketegori sedang atau biasa saja, serta 50 kampung tematik kurang berkembang.Â
Kabid Perencanaan Pemerintahan Sosial, dan Budaya, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang Slamet Budi Utomo mengatakan, monitoring dan evaluasi kampung tematik yang dibentuk selalu dilakukan Pemkot Semarang setiap tahunnya.Â
Hal ini dilakukan untuk melihat perkembangan kampung tematik yang sudah terbentuk. "Hasil monitoring kemarin, ada 28 kampung tematik yang naik kelas atau kategorinya baik, 100-an kampung tematik biasa saja, dan 50-an kampung tematik kurang," katanya.
Sementara untuk kampung tematik yang kurang, menurutnya, terjadi karena beberapa kendala. Misalnya, pemberdayaan masyarakat yang tidak maksimal, dan tidak mudah untuk mengembangkan kampung tematik tersebut dari segi infrastruktur. Misalnya, pelebaran jalan, lahan parkir, dan lainnya. "Mereka butuh pemasaran, perawatan secara komunal, dan nyatanya menggerakkan masyarakat ini memang tidak mudah," tuturnya.Â
Ia mencotohkan, kampung tematik yang tidak berkembang misalnya Kampung Agroponik dan Hidroponik di Semarang Barat, Kampung Jambu Kristal di Wates, dan Kampung Keripik Sukun di Peterongan. "Balik lagi ke pemberdayaan masyarakat, kalau hanya lima orang saja yang bekerja, tentu susah berkembang," ujarnya.
Biasanya kampung yang sudah memiliki bibit potensi tertentu, misalnya kampung jajanan pasar yang ada di Kelurahan Karanganyar, Tugu, di mana mayoritas warga di sana adalah pembuat makanan ringan.Â
"Kalau dari segi bahasa, yang 50 ini bisa dikembangkan, namun tidak bisa naik kelas lagi. Kampung jajanan ini menjadi salah satunya yang berkembang, mereka bisa masuk ke pemerintahan, BUMN, bahkan perbangkan," katanya.Â
Setiap kampung, lanjut dia, diberikan gelontoran dana segar sebesar Rp 200 juta. Meski ada 50-an kampung yang kurang tadi, Bappeda menilai dana tersebut tetap digunakan untuk memberdayakan masyarakat. "Kalau yang sudah berkembang, nanti kita keroyok bareng agar naik kelas. Melibatkan lintas OPD, stakeholder dan lainnya, termasuk mencarikan dana CSR," ujar dia.