“Orang yang hidup, berhak untuk terus hidup karena dia sudah hidup dan mempunyai hidup.” (C.B. Kusmaryanto, SCJ)
Lulusan biologi mau jadi apa, kata mereka. Menjadi lulusan biologi yang memiliki ketertarikan dengan dunia bioetika lalu mau jadi apa, sih. Masih banyak orang yang belum tahu apa itu jurusan bioetika dan apa kontribusinya untuk dunia.
Baiklah, sebelum sampai ke sana, saya akan menjelaskan apa dan bagaimana itu bioetika. Bioetika pertama kali dipopulerkan oleh seorang dokter onkologis (kanker) Van Rensselaer Potter dari Amerika tahun 1971. Yaa, memang masih terlihat muda ilmu ini dengan kelahiran di akhir abad 19.
Walaupun sebetulnya kata Bioetika pertama kali terdapat di artikel oleh seorang ilmuwan Jerman yaitu Fritz Jahr (1895-1953) berjudul “Bio-Ethik: Eine Umschau über die ethischen Beziehungen des Menschen zu Tier und Pflanz” pada tahun 1927. Tetapi yang menjadikan kata bioetika populer adalah Potter.
Sebagaimana dia, Potter menulis: “Saya mengambil posisi bahwa ilmu pengetahuan mengenal kelangsungan hidup harus dibangun atas dasar ilmu biologi dan diperluas melampaui batas-batas tradisional yang harus mencakup unsur-unsur ilmu sosial dan kemanusiaan yang paling esensial dengan penekanan khusus kepada filsafat dalam arti yang sempit yakni cinta akan kebijaksanaan.”
Kala, anak muda lainnya menekuni bidang internet, teknologi, marketing, manajemen, dan setelah lulus bekerja di sebuah start-up digital. Bioetika adalah disiplin ilmu yang unik, bayangkan saja hanya satu-satunya prodi Bioetika di Universitas Gadjah Mada.
Walaupun jurusan ini terkesan aneh dan baru, tetapi jangan salah para dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya memerlukan jurusan ini sebagai langkah menempuh pendidikan formalnya, kala sebelumnya hanya sertifikat program beberapa bulan saja untuk menjadi bioethicist maka sekarang berdasarkan data di lapangan harus menggunakan ijazah dari perguruan tinggi.
Jurusan bioetika tidak hanya diperuntukkan bagi mereka para tenaga kesehatan, melainkan saintis, dan ilmu sosial juga sangat memerlukan bidang ini.
Bagaimana tidak, bahwa ketika di luar negeri sana sudah banyak menerapkan interdisipliner dan kita di Indonesia masih saja seakan-akan mengotak-ngotakkan jurusan dan bidang, hingga setelah lulus kuliah bahkan kita tidak bekerja di bidang yang sesuai dengan jurusan kita dahulu.
Baiklah, mengapa di judul saya mengatakan bahwa “Menjadi Bioethicist di Indonesia itu Tidak Mudah.” Saya memandang bahwa setiap bidang harus memiliki ‘jembatan ilmu’ dan itu salah satunya adalah bioetika yang menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia nantinya, di mana dunia yang semakin serba terspesialisasi dan ada tendensi bahwa setiap ilmu memegang erat masing-masing bidangnya sehingga seakan-akan menjadi sangat eksklusif, tertutup dan tidak saling berhubungan.