Untuk kesekian kalinya, beberapa waktu yang lalu rakyat kembali dikejutkan atas pengumuman pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Sungguh fantastis, SBY telah menaikkan harga BBM sebanyak 4 kali dalam 10 tahun masa kepemimpinannya. Tidak hanya BBM, kenaikan harga juga terjadi pada Tarif Dasar Listrik (TDL). Per 1 Juli dan 1 September 2014 lalu, TDL sudah tiba-tiba dinaikkan saja, bahkan tanpa ada ‘excuse’ terlebih dahulu. Juga tidak ketinggalan, gas elpiji 12 kg pun turut menyemarakkan kenaikan harga yang sama riuhnya dengan kenaikan BBM. Pemerintah seolah-olah memang ingin memberi ‘surprise’ kepada masyarakat. Tentunya kejutan yang semakin membuat rakyat tercekik saja. Penghasilan rakyat yang pas-pasan bahkan tidak mencukupi untuk membeli kebutuhan pokok, ditambah lagi dengan ‘hadiah kejutan’ dari Pemerintah tersebut tentu akan semakin menambah beban hidup masyarakat yang sudah menggunung.
Lagi-lagi Pemerintah berdalih bahwa selama ini penyediaan energi di Indonesia ditopang oleh subsidi. Dari tahun ke tahun seiring perkembangan harga minyak internasional, biaya untuk pengadaan BBM semakin besar. Dengan biaya pengadaan yang terus meningkat maka subsidi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah semakin besar pula, sehingga sangat membebani APBN dan jumlah subsidi mutlak harus dikurangi jika ingin membangun neraca APBN yang sehat.Kalau kenaikan BBM akan mengakibat rakyat miskin bertambah, lalu untuk kepentingan siapa kebijakan tersebut di lakukan?
Kenaikan harga BBM memang disebabkan oleh pencabutan subsidi, hal ini merupakan salah satu solusi dari sekian banyak solusi yang bisa diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan energy di negeri ini. Tapi kenapa harus dengan pencabutan subsidi?Subsidi secara umum dipahami sebagai suatu bantuan yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk pengeluaran/pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah kepada institusi rumah tangga ataupun swasta yang ditujukan untuk menggerakkan konsumsi. (Samuelson dan Nordhaus, 2001: 777).Subsidi yang selama dikeluarkan dinilai banyak yang tidak tepat sasaran. Orang kaya yang notabene berkecukupan juga dapat subsidi dari pemerintah. Dengan menghapuskan subsidi dan mengalihkannya ke sektor lain yang lebih produktif, misalnya pembangunan infrastrukturmenjadi pilihan yang dianggap logis oleh pemerintah untuk mewujudkan efektifitas dari subsidi.
Oleh karena itu, alasan utama pemerintah menaikkan BBM adalah bukan karena subsidi tidak tepat sasaran tapi memang merupakan program pemerintah untuk menyempurnakan liberalisasi Migas dari sektor hulu dan hilir, di sektor hulu liberalisasi ini sudah berhasil dengan dikuasainya tambang BBM oleh asing dan swasta dengan hasil 87% tambang migas dikuasai swasta, sedangkan di sektor hilir masih terhambat karena adanya subsidi BBM. Karena itulah perlahan, tapi pasti pemerintah berupaya untuk menyerahkan harga BBM ini ke mekanisme pasar sesuai dengan kebijakan liberalisasi. Agar kebijakan pengurangan subsidi ini kelihatan pro rakyat miskin, Pemerintah menggunakan alasan: subsidi BBM tidak tepat sasaran karena sebagian besar subsidi dinikmati oleh orang-orang kaya.
Dalam sistem ekonomi kapitalis yang beraliran neoliberal, subsidi dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah yang akan mengancam sistem pasar bebas dan tentunya akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Selain itu, subsidi hanya akan menjadi beban bagi pemerintah dn membuat rakyat tidak mandiri. Dalam system ini mekanisme pasar menjadi kunci utama dalam kegiatan ekonomi, jadi apapun yang mengancam pasar bebas harus dimusnahkan.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam, subsidi dipandang sebagai pemberian negara terhadap rakyatnya untuk membantu meningkatkan taraf hidup mereka karena hokum asalnya boleh. Hukumnya akan menjadi wajib pada keadaan ekonomi yang timpang. Pada saat terjadi hal seperti itu negara wajib memberikan subsidi kepada rakyatnya sebagai usaha untuk melindungi rakyat dari kesengsaraan. Jadi, tidak masalah negara mengeluarkan biaya untuk kepentingan rakyatnya.
Kenaikan BBM pun sebenarnya tidak terlepas dari pendiktean asing yang dilegalkan melalui UU Migas yang disahkan oleh DPR, di setujui oleh Mahkamah Konstitusi dan dilaksanakan oleh Pemerintah. Sejak awal kemerdekaan, Indonesia tidak lepas dari berbagai intervensi dari pihak asing yang tentunya masih punya kepentinganterhadap negeri ini baik dari segi politik maupun ekonomi. Kebijakan penjajahan secara politik pada waktu itu sudah sangat tidak populis karena akan ditentang banyak negara lain yang menuntut kemerdekaan. Sebagai gantinya, para penjajah lama menggunakan cara baru untuk menjajah kembali bekas jajahan mereka di bidang ekonomi, seperti mengadakan perjanjian-perjanjian.
Mengembalikan fungsi negara dalam pengelolaan sumber daya alam menyangkut aspek kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan adalah solusi yang harus diperhatikan. Akan tetapi, solusi yang tama adalah terkait dengan sistem yang mengatur keberlangsungan pengelolaan energy di Indonesia, diantaranya penegasan kembali konsep kepemilikan. Kita harus jeli melihat fakta di lapangan. Barang-barang tambang yang ada di negeri ini justru dikuasai oleh para kontraktor-kontraktor asing. Tidak hanya migas, tetapi juga barang tambang lain seperti emas, tembaga, batubara, dll. Mengapa kekayaan di negeri ini justru malah dikuasai asing, bukan oleh kita sendiri. Perlu didefinisikan kembali, barang tambang tersebut sebenarnya milik siapa. Rasulullah saw telah menjelaskan dalam sebuah hadits bagaimana sifat kebutuhan umum tersebut. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda :“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.”(HR. Abu Daud).
Jika penerapan sistem Kapitalisme ini jelas menyulitkan dan menzalimi rakyat, solusi atas permasalahan khususnya mengenai kenaikan BBM ini adalah mengganti sistem Kapitalisme dengan sistem paripurna dan terbukti mampu menorehkan tinta emas peradaban manusia selama 13 abad, yakni Islam. Penerapan Syariah Islam akan mendorong kemandirian energi secara penuh dan melepaskan diri dari setiap belenggu para penjajah di era neokolonialisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H