Pendidikan di Indonesia telah melewati perjalanan yang panjang, dari sebelum kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Pendidikan di Indonesia sebelum kemerdekaan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk faktor budaya, agama, dan politik. Sebelum kedatangan penjajah, Nusantara telah memiliki sistem pendidikan yang berkembang di kerajaan-kerajaan seperti Majapahit dan Sriwijaya. Pendidikan di kerajaan-kerajaan ini cenderung terpusat di istana dan terbatas pada kelas elit. Orang-orang yang mendapatkan pendidikan utama adalah para bangsawan dan kalangan istana. Pada abad ke-13 hingga ke-16, Islam menjadi faktor penting dalam perkembangan pendidikan di Nusantara. Pusat-pusat pendidikan Islam, seperti pesantren, mulai berkembang di berbagai wilayah. Pesantren menjadi tempat penting untuk mempelajari agama Islam, sastra Arab, dan ilmu-ilmu keislaman. Pada abad ke-17, Belanda mulai menanamkan pengaruh kolonialnya di Indonesia. Sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh Belanda lebih terpusat dan mendukung kepentingan kolonial. Pendidikan diarahkan untuk memproduksi pegawai pribumi yang dapat mendukung pemerintahan kolonial. Etnis Tionghoa juga memiliki kontribusi dalam pendidikan di Indonesia sebelum kemerdekaan. Mereka mendirikan sekolah-sekolah yang memberikan pendidikan tradisional dan modern, serta memberikan kontribusi signifikan dalam bidang perdagangan dan ekonomi. Sebelum kemerdekaan, pendidikan untuk perempuan masih terbatas. Hanya segelintir perempuan dari kalangan bangsawan yang memiliki akses ke pendidikan, dan fokus pendidikan untuk mereka cenderung bersifat domestik. Meskipun Belanda menciptakan sistem pendidikan yang mendukung kepentingan kolonial, terdapat gerakan perlawanan dari kalangan pribumi. Beberapa tokoh intelektual dan nasionalis, seperti Ki Hajar Dewantara, terlibat dalam gerakan pendidikan alternatif yang lebih mengakomodasi kebutuhan masyarakat pribumi.
Ki Hajar Dewantara, atau lebih dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, memiliki pemikiran yang sangat berpihak kepada siswa. Pandangannya terkait dengan konsep pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga aspek emosional, sosial, dan budaya. Semboyan terkenalnya, "Tut Wuri Handayani, Ing Ngarso Sang Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso," mencerminkan filosofi pendidikan yang menciptakan keseimbangan antara pengajaran, teladan, dan pembangunan karakter. Pemikiran Ki Hajar Dewantara  ini mengilhami transformasi pendidikan di Indonesia, menempatkan siswa sebagai fokus utama. Tut Wuri Handayani mendorong pendidik untuk memberikan bimbingan yang penuh perhatian, Ing Ngarso Sang Tulodo mengajarkan arti kepemimpinan melalui teladan, dan Ing Madyo Mangun Karso mengajak kita untuk membangun karakter dan moralitas. Dalam konteks Perspektif Sosio Kultural, pemikiran ini meresap ke dalam kearifan lokal, menciptakan pendidikan yang menghormati dan memperkaya budaya setempat.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, perkembangan pendidikan di negara ini telah mengalami beberapa kali pergantian kurikulum sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan zaman. Berikut paparan singkat mengenai perjalanan dan perubahan kurikulum di Indonesia:
- Rentjana Pelajaran 1947, Â dibuat dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan. Di dalam kurikulum itu pemerintah mencoba merancang sistem pembelajaran bagi para pelajar di masa revolusi dengan menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia merdeka, berdaulat, dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini. Kurikulum 1947 tidak menekankan pendidikan pikiran, melainkan hanya pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat
- Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Â Pada 1952 pemerintah menerapkan kurikulum baru yang merupakan penyempurnaan Kurikulum 1947. Di dalam Kurikulum 1952 diatur tentang topik pembahasan di setiap mata pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Selain itu kurikulum juga mengatur satu orang guru hanya mengajar satu mata pelajaran.
- Rentjana Pendidikan 1964 dirancang dengan tujuan memupuk pengetahuan akademik pada jenjang sekolah dasar. Selain itu, konsep pembelajaran menitikberatkan pada pengembangan moral, kecerdasan, emosional atau artistik, keterampilan, dan jasmani atau disebut Pancawardhana. Dalam penerapan kurikulum itu proses pembelajaran dilakukan secara aktif, kreatif, dan produktif. Berdasarkan hal itu pemerintah menetapkan hari Sabtu adalah hari krida yakni memberi kebebasan bagi siswa berlatih berbagai kegiatan sesuai dengan minat dan bakatnya.
- Kurikulum 1968. Tujuan utama kurikulum ini adalah untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama, sifat materi pelajaran pada Kurikulum 1968 adalah teoretis dan tidak terlalu dikaitkan dengan permasalahan pada kehidupan sehari-hari.
- Kurikulum 1975 Kurikulum itu diterapkan setelah program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) tahap pertama berjalan di masa pemerintahan Orde Baru. Sedangkan pelajaran ilmu aljabar dan ilmu ukur menjadi mata pelajaran matematika.
- Kurikulum 1984 Perubahan kurikulum di Indonesia terjadi lagi pada 1984. Di dalam kurikulum itu dikenal dengan konsep pembelajaran Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Kurikulum 1984 dibuat karena kurikulum sebelumnya dinilai lambat dalam merespons kemajuan di kalangan masyarakat. Di dalam kurikulum itu juga ditambahkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
- Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999 dibuat dari hasil kombinasi Kurikulum 1975 dan 1984. Akan tetapi, penerapan kurikulum itu dihujani kritik oleh kalangan praktisi pendidikan hingga orangtua pelajar. Sebabnya adalah materi pembelajaran dinilai terlampau berat dan padat. Selain materi pelajaran umum yang dinilai berat, di dalam kurikulum itu juga ditambahkan materi muatan lokal seperti bahasa daerah, kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.
- Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 Kurikulum itu menitikberatkan pada kompetensi tiga unsur pokok, yaitu pemilihan kompetensi sesuai spesifikasi, indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi, dan pengembangan pembelajaran bagi peserta didik dan tenaga pengajar.
- Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 prinsip penyusunannya menggunakan konsep desentralisasi pada sistem pendidikan. Pemerintah hanya menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, lalu guru diminta mengembangkan silabus dan penilaian sesuai kondisi sekolah dan peserta didik di daerah masing-masing.
- Kurikulum 2013 (K-13) Â memiliki empat aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, aspek sikap, dan perilaku. Di dalam Kurikulum 2013, terutama di dalam materi pembelajaran terdapat materi yang dirampingkan dan materi yang ditambahkan.
- Kurikulum Merdeka  diperkenalkan oleh Kemendikbudristek pada bulan februari 2022 sebagai langkah untuk mengatasi krisis pembelajaran yang cukup lama. Selain itu kondisi ini diperparah akibat pandemic Covid-19 yang banyak mengubah proses pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran jarak jauh. Kurikulum ini berfokus untuk mengasah minat dan bakat anak sedini mungkin. Sehingga peserta didik memiliki waktu untuk memahami konsep dan menguatkan kompetensi yang sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yaitu pendidikan yang berpihak kepada siswa.
Sebelum memahami pemikiran Ki Hajar Dewantara, saya cenderung melihat peserta didik sebagai penerima informasi. Namun, setelah mempelajari topik ini, pandangan saya berubah. Saya menyadari pentingnya melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, memahami latar belakang budaya mereka, dan membantu mereka tumbuh sebagai individu yang berbudi pekerti.
Untuk merefleksikan pemikiran Ki Hajar Dewantara, saya akan meningkatkan interaksi dalam kelas, menciptakan suasana yang inklusif, dan mengintegrasikan nilai-nilai lokal ke dalam kurikulum. Saya akan menerapkan metode pembelajaran yang lebih berpusat pada siswa, memberikan ruang bagi kreativitas, dan memberdayakan mereka untuk menjadi pemimpin dalam belajar mereka sendiri. Proses pembelajaran akan melibatkan diskusi terbuka, proyek kolaboratif yang menekankan nilai-nilai budaya lokal, dan pembelajaran berbasis pengalaman. Saya akan berusaha menciptakan lingkungan di mana siswa merasa dihargai dan didorong untuk mengembangkan potensi mereka tidak hanya dalam hal akademis tetapi juga sebagai individu yang bertanggung jawab dan peduli terhadap masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H