Peringatan dini: tulisan ini tidak bermaksud untuk memprovokasi, menyindir, dan menyudutkan kelompok tertentu. Tulisan ini aku rangkai berdasarkan pengalaman pribadi dan keresahan yang kualami mengenai perjalanan seorang perempuan muslim mengenakan jilbab dan bagaimana stigma masyarakat membelenggu pilihan tersebut.
Aku ingin mengawali tulisan ini dengan awal mula aku memutuskan mengenakan jilbab. Kalau dipikir-pikir itu keputusan impulsif untuk anak kelas 6 sekolah dasar. Aku belum datang bulan kala itu dan orang tuaku juga tidak memerintahkan atau memaksaku untuk menutup aurat. Aku mengenakan jilbab dihari pernikahan kakak sulungku. Tepatnya, hari dia melakukan ijab kabul, 10 Oktober 2010. Aku mengenakan gaun berwarna putih tulang berpadu dengan warna oranye muda dengan jilbab berwarna sepadan. Itu gaun milik sepupuku yang dihadiahkan untukku. Dihadiahkan secara impulsif pula tanpa perencanaan apapun lantaran gaun yang aku bawa dari rumah: gaun berwarna oranye selutut dan tidak cocok dipadukan dengan jilbab.
Setelah hari akad itu berlalu, aku merasa nyaman terus menerus mengenakan jilbab, tak hanya ketika ke sekolah tetapi kemana saja aku pergi. Aku tidak peduli dengan tanggapan siapapun, aku tetap mengenakan jilbab hingga dewasa. Tentu saja perjalananku tidak sesederhana itu. Aku telah mengenakan berbagai ukuran jilbab dan perubahan signifikan terjadi saat aku baru duduk di bangku kelas XII SMA, tahun 2016. Aku memutuskan mengenakan jilbab panjang ke sekolah. Jilbab putih nyaris selutut. Keputusan ini membuat mamaku heran dan sedikit menentangnya, lebih tepatnya beliau takut akan anggapan orang di sekitar. Â Beliau takut aku mendapatkan cap, "aliran islam tertentu". Sebagai anak SMA yang berapi-api melakukan perubahan diri, aku tidak peduli dengan ketakutan mamaku itu, aku pikir semuanya akan baik-baik saja, dan bapakku tidak memberikan tanggapan apapun.
Aku tetap mengenakan jilbab panjang ketika lulus SMA hingga merantau ke kota untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Dan ada satu perubahan lagi, aku mantap memutuskan untuk bercadar. Mamaku kian tak nyaman dengan keputusanku dan bapakku, masih saja belum memberikan tanggapan dan reaksi apapun, kecuali diam. Aku rutin mengikuti kajian di masjid kampus dan berupaya sebaik mungkin untuk melebur di ruang kelas meskipun aku satu-satunya mahasiswi yang mengenakan cadar. Perguruan tinggi tempat aku menuntut ilmu memang kental dengan religiusitasnya, tetapi jurusan yang aku pilih tidak berkaitan dengan keagamaan. Sangat kontras dengan apa yang aku kenakan.
Satu waktu, dimata kuliah Agama Islam Kemuhammadiyahan (walaupun jurusanku tidak ada sangkut pautnya dengan keagamaan, mata kuliah satu ini tetap wajib tercantum direncana studi mahasiswa dari jurusan manapun), seorang dosen laki-laki menghampiri, berdiri tepat di hadapanku. Saat itu, sedang berlangsung diskusi di kelas. Beliau tiba-tiba menyodorkan pertanyaan kepadaku mengenai kitab apa saja yang telah aku baca hingga aku memutuskan untuk mengenakan cadar. Pertanyaan itu bersifat menyudutkan. Aku tidak menanggapi pertanyaannya karena aku yakin tujuannya bukan untuk mendengar jawabanku, tetapi menguji dan menggugat pilihanku mengenakan cadar kala itu. Beliau lalu menyebutkan beberapa kitab yang tidak familiar bagiku. Entah apa maksudnya. Apakah beliau sedang menantangku beradu bacaan? Atau menganggap aku telah menguasai banyak kitab? Tetapi bagiku, ini tetap pengalaman yang diskriminatif.
Lain waktu, saat aku mengikuti Darul Arqam Dasar (ini salah satu persyaratan normatif bagi mahasiswa FKIP muhammadiyah untuk mengikuti P2K/ Program Pemantapan Profesi Keguruan), salah satu instruktur perempuan memintaku melepaskan cadar di dalam masjid, di hadapan beberapa peserta Darul Arqam Dasar. Dalam kelompok itu memang seluruhnya perempuan namun ada beberapa jama'ah laki-laki juga di sana. Instruktur tersebut tetap memintaku melepaskan cadarku, lalu aku melepasnya sambil menangis. Semua peserta diam membisu termasuk instruktur itu. Lagi-lagi aku paham, jika keputusanku mengenakan cadar dan menjadi berbeda dengan peserta yang lain sedang digugat. Aku cukup kecewa dengan perlakuan tersebut.
Oktober 2018, aku mengalami dilema yang hebat. Aku menelepon mama, mengajak beliau berdiskusi tentang keputusan yang akan aku jelang. Aku melibatkan mama, aku membutuhkan pandangan beliau kali ini, karena keputusan yang akan aku buat cukup penting untuk hari-hariku selanjutnya. Dan aku cukup ketakutan saat itu. Mamaku menyambut keputusanku dengan riang dan lega, tetapi aku merasa campur aduk dan sedikit skeptis. Pertanyaan, "Ma, apa lebih baik aku melepaskan cadar?" telah kulampaui. Pertanyaan berikutnya yang bergelayut di kepalaku, "Bagaimana tanggapan murobbiyah (guru ngaji) ku nanti?" dan "Apakah teman-teman sekelasku menyambut baik perubahanku? Atau malah menghujatku?"
Aku sungguh-sungguh melepaskan cadar itu, guru ngajiku tak senang dengan keputusanku. Beliau menunjukkan perubahan sikap dan mencaciku di postingan sosial medianya. Beliau mengibaratkan aku sebagai boneka yang terombang-ambing dan terkesan aku telah melakukan petaka yang besar. Sementara, teman-teman sekelasku menyambut perubahan itu dengan baik, tak ada satupun hujatan yang aku terima dari mereka. Semoga kalian baik-baik saja dan sehat-sehat selalu. Dan bapakku, setelah beliau terlalu lama diam menyaksikan tiap transformasiku dalam mengenakan jilbab, beliau akhirnya mengucapkan, "Tak perlu mengenakan sesuatu yang memberatkanmu". Ucapan bapak kian menguatkan keputusanku. Begitu teduh.
Perbedaan atmosfer saat aku mengenakan cadar dan setelah melepasnya begitu nyata. Dan aku tidak pernah menyesali sedikit pun keputusanku untuk mengenakan bahkan melepaskan cadar itu. Melepaskannya, menjadi salah satu keputusan terbaik dan berani yang pernah aku lakukan. Aku sadar dan belajar banyak hal dengan kejadian-kejadian yang aku alami sebelum dan setelah melepaskan cadar. Selama satu tahun mengenakan cadar, aku berharap kala itu aku semakin dekat dengan Tuhan dan ilmu pengetahuan. Namun yang aku peroleh diluar dugaan, aku malah mengalami diskriminasi dan menyaksikan perbedaan yang terlalu tajam dan ditonjolkan. Aku tidak ingin merasa eksklusif hanya karena aku mengenakan pakaian yang religius. Aku tidak ingin tujuanku untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan ilmu pengetahun malah menjerumuskan dan membelengguku pada keangkuhan: merasa lebih baik dari manusia lain.
Ketaatan seorang perempuan tak bisa diukur dari seberapa panjang atau seberapa pendek jilbabnya. Itu indikator yang tidak masuk akal, bahkan cenderung tidak humanis dan diskriminatif. Ketaatan pada Tuhan memerlukan ilmu bukan hanya koleksi jilbab di lemari. Definisi hijrah pun tak sebatas perubahan dari penampilan saja, yang lebih utama adalah peningkatan kapasitas ilmu dan nilai-nilai humanis pada diri agar semakin menghargai perbedaan yang ada, agar tidak mudah mencaci maki saudara seiman jika ada perbedaan pandangan dan pilihan hidup. Sebaik-baik hijrah ialah ketika kita mampu menjadi pribadi yang inklusif: menerima setiap perbedaan latar belakang dengan penuh kasih sayang tanpa menodong-nodong pilihan hidup manusia lain dengan penuh kebencian.
Apapun pilihan perempuan, apapun perubahan hidup yang ingin ia lakukan setelah beberapa fase hidup yang ia tempuh, itu kemerdekaan penuh baginya untuk memilih. Sejujurnya, perempuan tak memerlukan validasi manusia manapun untuk melakukan itu. Sebab itu haknya, itu urusannya dengan Tuhan, dan segala konsekuensi berada penuh di tangannya. Kemerdekaan yang bertanggung jawab. Dan, selamanya aku akan memperjuangkan kemerdekaan itu. Selamanya, aku akan mempertahankan keputusanku untuk tetap mengenakan jilbab seumur hidup; sedepresif apapun momen yang kuhadapi. Jilbab bukan simbol represif dan diskriminatif, jilbab adalah simbol kemerdekaan perempuan muslim. Mari menormalisasi itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H