"Americano-nya satu ya, kak."
"yakin, dek?"
"Iya, kak."
"Ini cuma campuran kopi  dan air. Mau ditambah gula?"
"Tidak perlu kak. Ga apa-apa, aku udah biasa minum kopi."
"Seriusan nih, dek?"
"Iya kak."Â
Kali ini aku menimpali pertanyaan barista itu setengah dongkol dalam hati. Sepertinya dia meragukan kegemaranku mengonsumsi kopi. Atau tampangku jauh sekali dari tampang penikmat kopi? Entahlah. Aku urung mencari tahu atau melanjutkan percakapan. Aku langsung membayar, lalu mendudukkan diri di kursi, melanjutkan bacaanku yang terjeda dan menunggu americano untuk tiba.
Sejujurnya aku dalam keadaan mengantuk sekali, tetapi mataku tak ingin berhenti membaca kisah tentang pak Pram. Kali ini kisah yang lebih dekat lagi. Aku mengenal pak Pram dari tetralogi pulau buru saat awal-awal kuliah.Â
Aku bukan mahasiswa sastra, tapi aku senang saja jadi bunglon diantara para sastrawan, senang sekali menceburkan diri di festival sastra, dan cenderung tak tahu diri selalu menulis dan mengirimkan karya ke redaksi meskipun sudah seringkali ditolak. Aku menemukan kebebasan saat aku menulis, walau tidak sepenuhnya. Karena aku akan kepentok dengan urusan tata bahasa yang menyebalkan dan kadangkala membatasi ruang gerak diksi-diksiku.