"Bulan depan, apa boleh kamu pulang dulu? Juni, kakakmu, sendirian di rumah. Ada yang menemani, tapi mama tak enak hati pada tetangga itu".
Aku tak langsung menjawab. Aku memikirkan kemungkinan pulang-pergi dari lokasi penelitian. Apakah memungkinkan? Jauh. Dan aku tidak bisa berjanji pada mama untuk menyodorkan kemungkinan terbesar. Hatiku tetap berdesir. Mama melanjutkan negosiasi, tapi kali ini agak memojokkanku.
"Kamu kapan selesainya? Kapan wisudanya? Sudah terlampau lama". Aku bisa membaca nada kejengkelan di sana, sekaligus putus asa.
Aku tidak tahu harus menimpali apa, tetapi todongan itu membuatku agak naik pitam. "Kalaupun sudah wisuda, aku belum tentu pulang, Ma".
Suasana mendingin, aku memperbaiki posisi dudukku. Dan mama tidak membalas apa-apa lagi, menunda perdebatan lalu masuk ke kamar entah melakukan apa. Aku pun bingung, mengapa begitu berat untukku untuk pulang? Seperti ada sesuatu yang menghadangku di sana. Masa lalu, pertengkaran, gejolak batin, hubungan yang tak harmonis, tuntutan masa depan, sosial ekonomi dan ketidakberdayaan. Aku selalu merasa harus pergi jauh untuk melihat semuanya lebih dekat, utuh. Terlalu dekat, membuatku tak mampu melihat masalah itu secara menyeluruh. Ada sesuatu yang harus aku lakukan, tapi tidak di sini. Kekuatanku tidak berfungsi di sini, aku butuh ruang.
Mama keluar kamar, membuka pintu kulkas dan menyeleksi isinya, memilah-milih sayuran. Mama melakukannya tanpa sepatah kata pun. Mama merapatkan kembali pintu kulkas, menyusun sayuran pilihannya, mengambil pisau dan talenan lalu memotong-motongnya tanpa suara. Aku tidak punya keberanian untuk mengintervensi aktivitas itu, aku menyilakan mama larut dalam keheningannya sampai beliau kembali membuka suara.
"Mama tak enak hati jika harus meminta tetangga itu mengambil alih semua tanggung jawab untuk menjaga Juni, kakakmu. Cukup dia membantu memasak saja. Untuk urusan cucian, kakakmu itu tidak bisa mengoperasikan mesin cuci. Nanti kakakmu menjemur pakaiannya dengan keadaan basah-basah tanpa dikeringkan terlebih dahulu. Lalu, jamunya bagaimana? Siapa yang mau menghangatkan jamunya?"
Aku menarik napas panjang. Urung menjawab buru-buru. Aku masih menatap layar laptop berupa rentetan-rentetan teori para ahli. Sungguh aku sudah muak dengan kemandekan tugas akhirku. Aku sudah terlambat lulus selama dua tahun. Selama itu, rasanya aku sedang berputar-putar di kepalaku sendiri. Berupaya mencari jalan keluar, namun rupanya tidak semudah itu. Aku penasaran pada rencana Tuhan. Kejutan apa yang Dia siapkan? Mengapa aku tak kunjung tiba di tujuanku?
"Ajarkan kemandirian pada Juni, Ma. Sampai kapan mama meminta bantuan orang lain untuk menjaganya jika mama bepergian? Sampai kapan Juni dibiarkan demikian?"
Akhirnya aku mengungkapkan kekhawatiranku secara gamblang. Mama tak tampak tersinggung. Beliau malah menanggapi dengan seadanya, "Sudah. Mama sudah mengajarkan padanya. Mama pernah memintanya untuk menghidupkan kompor, tapi dia malah lari dan marah. Tetapi dia pandai kok, menggunakan rice cooker. Tiap kali mama meminta dia untuk melakukan sesuatu, pasti dia meledak-ledak marah dan menangis. Mama selalu bilang padanya, apa tidak malu pada yang lain? Mereka semua sudah bisa melakukan banyak hal, tetapi dia masih saja seperti itu".
Lagi-lagi aku menghela napas berat. Berusaha tenang ditengah kecamuk.