Aku terbangun dengan kepala yang berat sekali. Aku tidak dapat berpikir jernih, selimut melingkar di pinggangku seperti kerumitan yang melingkari kepalaku. Pukul 07:11, saat aku membuka gawai. Aku memaksakan diri keluar kamar dan membasuh wajahku di wastafel. Tidak ada apa-apa di atas meja makan. Kulangkahkan kaki menengadah sebentar ke halaman belakang rumah dan kudapati diriku membaik sepersekian menit. Aku memutuskan untuk menghidupkan kompor, mendidihkan air, lalu menyeduh coklat hangat untuk membangkitkan kantukku yang bukan kepalang.
Hari ketiga datang bulan sungguh menyiksaku. Selain kepala yang sakit, panggul, dan bokong yang pegal, hari-hari yang lalu terasa meremukkan semua. Aku hanya ingin mengeluh sepanjang hari, tidak ada yang bisa diajak berbicara, tidak ada yang bisa diajak berbagi kedongkolan. Hanya ada diri dan pantulannya yang melelahkan. Apakah hidup memang tidak ada artinya? Jika fase ini masih terus saja berputar, lantas kapan akan berhenti? Di mana jalan keluarnya? Aku lelah terjatuh, bangkit, terjatuh, bangkit, terjatuh, lalu bangkit kembali.
23 tahun, dua gelas kopi dingin disore hari, mendengarkan lagu-lagu Avril Lavigne dan Hindia secara berulang-ulang dan bergantian. Upaya bertahan yang klise tapi cukup membantu. Walau tiap hari terbangun untuk bertaruh dengan diri sendiri; bertaruh seberapa sanggup bertahan dihari ini dibandingkan hari-hari kemarin. "Pusaran kerumitan, berlalulah. Pusaran kerumitan, berlalulah. Pusaran kerumitan, berlalulah."Â Aku mengulang-ulang mantra itu di balik pantulan diriku.
Tampak semua raut kelelahan, kerutan di bawah mata, jerawat di sekujur wajah, dan guratan senyum yang pelan-pelan memilu. Namun senyum lepas masih mampu aku jelang. Aku senang melihat mataku menyipit ketika tersenyum lepas dan deretan gigi-gigiku yang tampak jelas: penanda jika masih ada bagian dari diriku menampakkan diri tanpa ragu.
Dua gelas kopi telah tandas, gelasnya pun telah aku cuci, dan telah kuletakkan di lemari. Lalu aku kembali terduduk di ruang tamu, mendengarkan lagu, berusaha menyelesaikan cerita ini. sederhana, agar kerumitan di kepalaku mampu terurai satu per satu. Agar aku bisa menghadapi diriku sekali lagi. Agar aku bisa memaafkan diriku sekali lagi. Agar aku bisa memberi kesempatan pada diriku untuk mencoba sekali lagi. Agar aku mampu melewati kebosanan satu kali lagi. Fase gelisah dimalam hari akan terlewati, fase memalukan akan terlewati, fase kebingungan akan teratasi. Tak ada yang tahu, tak ada yang tahu, tak ada yang tahu seberapa takut dan seberapa jauh langkah itu kupacu. Dan aku masih bingung menghadapi kebingunganku, menepikan segala yang dapat memantulkan bayangan. Aku ingin belajar lebih banyak menghadapi kenyataanku dibandingkan pantulanku sendiri, pantulan maya. Menghabiskan coklat hangat sekali lagi dipagi hari seperti menghabiskan satu lagu dari My Chemical Romance.
Pukul 05.05 waktu indonesia tengah, aku terduduk di beranda depan salah satu kedai minuman hits di kotaku. Listrik padam di sini, dan aku kesulitan membayar minuman karena aku tidak membawa uang tunai. Berulang-ulang aku keluar masuk dari aplikasi, berulang-ulang pula aku meyakinkan diri bahwa tujuanku hari ini akan berakhir baik. Dan ternyata aku menjadi pelanggan yang satu-satunya tinggal di kedai itu. Lalu lalang kendaraan menjadi saksi kebisuanku menatap nanar layar laptop. Apa yang kuinginkan tidak selalu sejalan dengan hasil baik yang aku dambakan. Hal-hal diluar rencana yang selalu memberiku kejutan pembelajaran.
Beberapa kali aku mencuri waktu untuk menyalakan kamera, menyaksikan tiap lekuk wajahku yang terpapar matahari sore. Menyisakan terik-terik 32 derajat celcius. Tampak jelas jika lingkaran mataku menunjukkan kelelahan, bekas-bekas jerawatku dan gradakan di sekitar kulit wajah. Aku tak membenci semua itu. Aku menyalakan kamera untuk menyapa wajah letihku, menyapa betapa wajah yang kutatap, pantulan asing yang kuhadapi adalah serpihan diriku yang telah susah payah bertahan selama ini. Pantulan yang tak patut dibenci dan dimaki sama sekali. Pantulan yang menjadi teman setia di tiap perjalanan. Pantulan yang selalu menemani langkah-langkah kecilku yang lamban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H