Mohon tunggu...
Desy Marianda Arwinda
Desy Marianda Arwinda Mohon Tunggu... Freelancer - flight through writes

Hidup lebih hidup dengan menulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepintas Percakapan dan Kecemasan di Kedai Yotta

20 Juni 2023   23:40 Diperbarui: 20 Juni 2023   23:46 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Petang ini aku berjalan menuju kedai minuman, kepalaku mumet. Aku hanya butuh suasana berbeda untuk menyelesaikan revisi-anku, iya revisian skripsi. Aku tentu sudah muak. Terlebih lagi, di meja pelanggan sebelahku sedang berdialog tentang pekerjaan, sallary, hadeuuh. Sepertinya, aku akan meledak di angkasa. Bagaimana tidak, aku baru saja resign dari kerjaanku tempo hari. Kuliahku di ujung tanduk, tapi tunggu dulu, kali ini bukan tentang kecemasanku saja. Aku membayangkan jarak tempuh 41.1 kilometer demi sebuah tanda tangan. Lain kali, bolehkah kutempuh bermil-mil jarak demi masa depan yang lebih layak?

Choco Belgian ukuran large sudah tandas. Beranda kedai telah penuh dengan pengunjung laki-laki. Mereka mengobrol, merokok, scrolling sosial media. Tetapi aku lebih tertarik dengan obrolan ngalor-ngidul dua perempuan di sebelah meja yang aku gunakan untuk mengetik cerita ini, loncatan-loncatan topik tentang masa depan. Investasi reksadana, kontrakan, ingin menikah usia berapa, bahkan membahas tipe pasangan hidup yang ideal. Sungguh, kupingku mudah sekali menangkap perbincangan orang lain. Bersahut-sahutan dengan monolog di  kepalaku.

Aku ingin mengumpulkan keluhanku dalam satu wadah Yotta dan menjadi varian minuman baru untuk mahasiswi semester akhir  sepertiku. Stase ini menguras banyak energiku hingga obrolan di sebelah meja usai. Pengunjung beranjak pergi satu per satu. Menyisakan hanya aku dan avocado smoothies. Ya, ini minuman kedua yang kupesan sambil kedinginan. Entah kedinginan karena terlalu banyak mengonsumsi es, entah karena air conditioner, atau barangkali karena ketar-ketir di hadapan masa depan. Pergumulan pertanyaan "bagaimana jika" dan "bagaimana jika" yang berentetan membentuk  antrean panjang di linimasa prefrontal cortexku. Lalu lalang dan halang rintang yang kuhadapi ibarat masih separuh dari perjalanan jauh. Kadang kala aku merasa melewati labirin-labirin baru tanpa tahu ujungnya ada di mana.

Nama per nama telah disebut satu per satu di meja kasir, pesanan mereka telah selesai: telah menemui tenggat waktu peracikannya tetapi masih ada beberapa sampah minuman yang tertinggal di beberapa meja. Mengapa manusia senang sekali meninggalkan jejak yang mampu direkam manusia lain dalam ingatannya? Mengapa pula mataku begitu mudahnya menangkap momen-momen absurd? Momen-momen yang tak perlu dibenamkan ke akal? Sampah ingatan dan sampah lingkungan, sama-sama membuat ruang berpikirku jadi bertambah sesak. Apakah ada tempat pembuangan akhir untuk pikiran-pikiranku selain di jalan-jalan & tulisan tanpa judul yang bebas kutebar sesukaku di udara?

Persetan dengan kecemasan-kecemasanku. Persetan dengan semester ini dan semester kelima. Saat semester kelima, tubuhku pernah kehilangan kesadaran saat kuliah sedang berlangsung di lantai empat. Aku sedang sibuk membaca, membolak-balikkan diktat kuliah sambil membuat beberapa catatan-catatan kecil. Serangan itu datang, membuatku tak bisa duduk seperti semula. Aku berhasil membuat kawan-kawan sekelas panik karena aku tidak bisa menyembunyikan jika aku sedang kesakitan. Rasa sakit yang melilit melebihi nyeri datang bulan bahkan berkali-kali lipat dari itu. Kawan-kawan sigap memapahku menuju elevator dan mengantarku hingga ke kamar indekos. Sebelum semua prahara ini terjadi, aku telah kehilangan tidurku selama 48 jam atau entah berapa jam, aku urung mengalkulasinya. Aku kehilangan tidur karena belajar saban malam seperti manusia yang sedang kerasukan ambisi. Seusai pulih, aku tersadar satu hal. Aku berjuang segila itu untuk menempuh strata satuku, tetapi mengapa masih saja aku berakhir terjebak dimomen disfungsiku? Mengapa Tuhan begitu percaya jika aku akan sekuat itu?

Dan kecemasan serupa pernah terulang baru-baru ini, tetapi kali ini bukan pingsan. Aku muntah di kamar mandi dan kepalaku seperti dihantam dari segala penjuru. Aku berada diujung tanduk disemester akhir ini. Aku mungkin sudah lama ingin menyerah tapi Tuhan selalu menuntunku untuk bangkit dengan cara yang tak pernah aku percaya dan belum pernah masuk ke daftar percaya yang aku susun di kepalaku. Bolehkah aku yakin jika tahun ini adalah momentum yang tepat? Bolehkah aku percaya jika aku sedang tidak membuang-buang waktuku? Bahwa aku tidak sedang mengulur-ngulur waktuku? Tetapi sebaliknya. Aku sedang babak belur digebuk tenggat waktu.

Tiba waktunya aku beranjak pergi dari kedai Yotta. Dan kedua minuman itu telah tandas. Aku tidak benar-benar mematikan laptopku, aku hanya menggunakan opsi 'sleep' agar bisa kulanjutkan beberapa kalimat di rumah. Kusampirkan lagi totebag putihku di pundak sebelah kiri dan menenteng sampah-sampahku, membuangnya ke tempat yang telah di sediakan: di muka pintu, agak condong ke kiri jika dilihat dari arah dalam menuju ke luar & agak condong ke kanan jika melihatnya dari arah luar menuju ke dalam ruangan.

Lalu aku menyeberang jalan, mengimbangi kedua langkah kakiku menuju rumah, menaruh rapat-rapat kecemasanku & meyakinkan diri kesekian kalinya: "Tidak apa-apa, semester akhir ini pasti akan berakhir. Selamat melanjutkan perjalanan!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun