"Tadi pesan kopi apa?"
"Espresso" jawabku mantap, singkat dan penuh yakin.
Aku memesan secangkir espresso double shot di Kopi Api Roaster, sambil menunggu. Aku sedang menunggu teman semasa kecilku. Sudah sepuluh tahun kami tak pernah bersua muka atau sekadar duduk bengong berdua sambil mengobrol apa saja. Hari itu, hari pertama aku bekerja sebagai penulis takarir untuk beberapa brand lokal di kota ini. Target dua tahun lalu yang terwujud tahun ini. Aku masih ingat begitu rinci ketika aku mengirimkan CV berulang kali di aplikasi LinkedIn, masih untuk mencapai target sebagai penulis takarir professional, copywriter nama kerennya. Aku memilih karir ini bukan karena aku ahli, tetapi pilihan inilah yang paling masuk akal diusiaku sekarang, bahkan disaat aku belum selesai sepenuhnya dari perkuliahan strata satu. Sudah pasti, ini pilihan karir yang tidak masuk akal bagi beberapa manusia. Ada saja yang mengkritikku habis-habisan atas keputusanku untuk terjun diindustri digital kreatif. Aku paham, kritikan itu bernada hati-hati. Barangkali, hanya ingin memastikan apakah aku hanya setengah hati dan iseng-iseng mencoba terjun bebas di industri ini atau benar-benar seserius itu. Segala todongan kritikan ditiap keputusanku, tak membuatku terpukul mundur. Tenang saja, aku selalu punya alasan logis untuk itu. Aku selalu punya jalan kuatku sendiri. Aku dididik ditumbuhbesarkan dengan pola yang menjadikanku kuat menumpu kakiku sendiri, kuat menahan perih lukaku sendiri, kuat membasuh dan membalut lukaku sendiri.
"Apa kabar, Bumi? Serindu itu tau, ngobrol bareng kamu!"
"Aku masih bertahan, Ngit. Sepuluh tahun tanpa ocehanmu, sepi tau! Susah nyari manusia yang bisa diajak deep talk hehe. Aku lebih senang interaksi kita di dunia nyata, Ngit. Tanpa pura-pura."
Aku melihat senyum Langit bercampur haru. Mata tajamnya tetap menyala meski berembun. Langit yang kukenal, perempuan pemimpi yang pantang digerus caci maki. Sesekali, aku ingin meminjam jiwanya. Aku ingin merasakan ketangguhannya.
"Kamu tuh ya Bumi, belum berubah. Masih saja memanggilku dengan sebutan Ngit. Panggil yang lengkap dong, L-A-N-G-I-T."
"Tapi kamu rindu kan, dengan panggilan kesayanganku itu?"
Sekali lagi kulihat mata tajam Langit menyipit, gigi putihnya tampak setampak-tampaknya ketika dia tertawa lepas. Bebas.
"Eh, Bumi! Kamu masih nulis kan? Ah! aku belum menemukan penulis keras kepala sepertimu. Padahal, aku sudah hampir mengelilingi sebagian bumi, bertemu banyak rupa. Nyari teman seperti kamu sulit juga, ya Bumi. Kamu benar-benar manusia langka di bumi."