Mohon tunggu...
Desy Hariyati
Desy Hariyati Mohon Tunggu... -

Desy Hariyati, graduated from the University of Indonesia majoring in Public Administration in 2008. When studied in the university, She was also a teaching assistant in Department of Administrative Science, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia. Recently, she is now a Junior Lecturer in FISIP UI and also a researcher in the Indonesian Society for Transparency (MTI). Her research interests are focused in good governance, bureaucratic reform, local government and community development.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gayus dan Kegagalan Reformasi

9 April 2010   10:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:53 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus Gayus Tambunan yang mencuat beberapa pekan lalu, hanyalah cerminan satu dari sekian banyak “gayus-gayus lain” yang bersarang di negeri kita. Alih-alih menjadi public servant, mereka justru menjadi rent seeker dengan kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya. Maka tidak heran jika sebagian masyarakat berpendapat bahwa itu hanyalah nasib apes yang “kebetulan” menimpa Gayus, sebelum kasus serupa lainnya mungkin juga akan terungkap.

Kasus gayus dan korupsi lainnya menggambarkan bagaimana birokrasi kita berjalan. Departemen Keuangan sebagai pioneer reformasi birokrasi belum dapat membuktikan keberhasilannya dan justru sebaliknya, seolah semakin memperkuat opini bahwa reformasi identik dengan peningkatan remunerasi semata. Ada benarnya memang, karena toh sampai saat ini kita tidak melihat signifikansi reformasi terhadap peningkatan kinerja dan kualitas layanan publik. Menaikkan gaji tanpa memperhatikan faktor kinerja pegawai tidak akan efektif bagi peningkatan kinerja birokrasi secara keseluruhan. Bahkan sebaliknya, gaji yang dinaikkan hanya akan menyebabkan inefisiensi dan pemborosan anggaran negara. Apalagi ditambah kasus korupsi yang tidak kian meredup.

Pegawai negeri sebagai pelaksana birokrasi tentunya memegang peranan penting dalam menggerakkan birokrasi itu sendiri. Maka dari itu, reformasi kepegawaian sebagai subsistem dari reformasi birokrasi sudah selayaknya menjadi prioritas demi terwujudnya reformasi yang menyentuh semua aspek. Namun, sampai saat ini tidak kita lihat bentuk dan strategi nyata dari pelaksanaan reformasi kepegawaian itu. Bahkan, reformasi berjalan parsial, tidak ada sistem yang terintegrasi. Mengutip istilah Boediono, setiap instansi “memainkan musiknya” sendiri-sendiri dengan irama yang berbeda, sehingga tidak enak didengar. Dan inilah yang terjadi dengan nasib reformasi di negeri ini, tidak jelas arah dan strateginya.

Langkah reformasi birokrasi memang tak semudah membalikkan telapak tangan, karena pada dasarnya perubahan sistem harus dibarengi dengan perubahan pola pikir dan pola budaya aparatur negara yang notabene belum memiliki kultur sebagai pemberi layanan. Secara objektif, reformasi yang dilakukan pada tataran rekruitmen, pelatihan, promosi, kompensasi hingga pemberhentian masih terkendala banyak hal yang sebagian besar terkait dengan kekuasaan dan kepentingan politik individu atau kelompok tertentu. Maka dari itu, perlu adanya langkah berani dari pihak pemerintah dengan mengesampingkan kepentingan-kepentingan politik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun