Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mewaspadai Fenomena Lipstick Effect yang Menjebak

30 Januari 2025   03:45 Diperbarui: 30 Januari 2025   03:45 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.rri.co.id/

Tahun 2025 dikabarkan ekonomi dunia berada di posisi harap-harap cemas.  Berbagai faktor bisa menjadi penyebabnya.  Termasuk ketidakpastian akhir konflik geopolitik di berbagai wilayah yang masih terus terjadi, sehingga berdampak anjloknya ekonomi negara-negara maju.  Tentu kondisi ini seharusnya menjadi alarm untuk Indonesia.

Namun, apakah demikian yang ditemui di tengah masyarakat?  Nyatanya tidak sepenuhnya "kekhawatiran" ini terlihat.  Alih-alih berhemat, justru masyarakat mencoba menghibur diri dengan membelanjakan uangnya untuk barang, perintilan kecil ataupun mencari pelarian lainnya yang seolah punya kesan mewah di tengah kondisi ekonomi yang cenderung merosot.

Indonesia tidak sedang baik-baik saja, demikianlah gambaran yang terjadi.  Terbukti masih banyak orang Indonesia yang rela antre demi menonton konser Bruno Mars, konser Korea, dan bahkan membelanjakan uangnya demi boneka Labubu ataupun yang sejenisnya.   

Lihat saja juga ketika cuti bersama belum lama ini.  Masyarakat ramai memenuhi daerah-daerah wisata seperti Yogyakarta, Bandung ataupun Solo misalnya.  Kemudian untuk yang kantongnya masih cukup longgar, mereka memilih ke Bali.  Tidak harus dengan pesawat, kenapa tidak mencoba melakukan perjalanan darat dengan kemudahan melalui jalan toll.  Tidak peduli kemacetan selama perjalanan, dan/ atau di tempat tujuan.

Lipstick effect atau effect lipstick, adalah gambaran mengenai kondisi ini.  Fenomena ini terjadi menjelang resesi ekonomi.  Fenomena lipstick effect adalah refleksi dari bagaimana masyarakat beradaptasi dalam menghadapi tekanan ekonomi.  Di mana masyarakat cenderung mengubah cara mereka dalam mengkonsumsi.  Mereka beralih mengkonsumsi harga yang terjangkau, namun tetap memberikan kepuasan emosional dan mendapatkan kebahagiaan.

Istilah lipstick effect pertama kali diperkenalkan oleh Leonard Lauder, mantan CEO Este Lauder, yang menyaksikan peningkatan penjualan lipstick selama masa resesi.  Ini terjadi karena ketika itu meskipun banyak konsumen mengurangi pengeluaran untuk barang mewah, mereka tetap mencari cara untuk memberikan kebahagiaan kepada diri sendiri.  Di sinilah lipstick tidak menyoal kecantikan.  Melainkan berbicara bagaimana seseorang tetap mencoba mencari kebahagiaan di tengah kondisinya yang tertekan.  Seperti halnya saat pandemi Covid beberapa waktu lalu, yang nyatanya mampu meningkatkan penjualan skincare.  Kenapa demikian, tidaklah lain untuk membahagiakan diri sendiri di tengah kondisi tertekan.

Sesungguhnya yang terjadi adalah ilusi daya beli.  Sebab faktanya secara global ekonomi tidak sedang baik.  Kemiskinan meningkat, dan kalangan menengah semakin terjepit menuju jurang kemiskinan.  Sementara golongan atas "menikmati" kenyamanannya.  Seharusnya di tengah kemerosotan ekonomi, masyarakat waspada agar tidak terpuruk. 

Adapun penyebab effect lipstick, adalah:

  • Dorongan ekonomi, sebab lipstick adalah produk yang harganya masih terjangkau dan mampu memberikan kebahagiaan.
  • Dorongan emosional, sebab berbelanja mampu memicu pelepasan dopamin atau hormon yang terkait dengan perasaan bahagia
  • Sosial dan budaya, pengaruh media berperan membentuk persepsi kecantikan.  Di mana lipstick produk kecil dengan harga terjangkau, tetapi mampu memberikan kebahagiaan.

Terkait dengan "harga terjangkau" tidak berarti effect lipstick tidak membawa akibat negatip.  Kenapa demikian, sebab kepuasan yang dicari justru akan membentuk gaya hidup atau ketergantungan.  Demi diri sendiri, ataupun demi gengsi/ memenuhi ekspetasi sosial.

Maka, berikut hal yang perlu diwaspadai, yaitu:

  • Terjebak dalam gaya hidup konsumtif
  • Terlibat hutang
  • Menipis/ hilangnya budaya menabung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun