Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyikapi Fenomena Bunuh Diri pada Generasi Muda

8 Januari 2025   04:11 Diperbarui: 8 Januari 2025   21:21 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://makansedap.id/

Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai inspirasi.  Melainkan untuk membuka mata kita bersama tentang yang terjadi di sekitar kita.  Bahwa fenomena bunuh diri atau Suicidal Thought belakangan cukup marak di kalangan generasi muda atau gen Z yang bahkan datang dari kalangan terpelajar.  Ini miris, sebab bukankah keberhasilan suatu negara bergantung pada generasi penerusnya?

Beberapa kejadian yang sempat diberitakan di media sosial terjadi pada mahasiswa dengan latar belakang anak baik dan cerdas.  Sehingga bagi lingkungan terdekatnya atau mungkin keluarganya tidak ada tanda yang memicu kecurigaan.  Di lain kejadian hal ini juga terjadi pada anak usia SMP dan bahkan SD.  Ini rentetan kejadian yang menyedihkan, dan menjadi pertanyaan bersama, "Serapuh inikah generasi kita saat ini?"

Mengutip dari laman humas BRIN, bahwa menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat setidaknya lebih dari 800.000 kasus bunuh diri setiap tahunnya, dan yang tertinggi adalah pada usia muda (data 2019).  Serta menurut laman kompas dikatakan bahwa dalam kurun waktu 11 tahun terakhir (2012-2023) tercatat ada 2.112 kasus bunuh diri di Indonesia.  Di mana sebanyak 985 kasus (atau 46,63 persen) di antaranya dilakukan oleh remaja.

Tidak ada faktor tunggal yang melatarbelakangi keputusan mengakhiri hidup ini.  Namun setidaknya terdapat 3 faktor yang bisa menjadi perhatian kita bersama, yaitu:

  • Kesehatan Mental
    Faktanya gen Z lekat dengan label generasi yang rapuh dan mudah depresi.  Mereka memang tanggap dengan teknologi dan segalanya serba instan.  Namun berujung mereka ingin segalanya dicapai dengan cepat tetapi mengabaikan proses.  Termasuk untuk meraih keberhasilan.  Sehingga yang terjadi banyak yang tidak siap menerima kegagalan
  • Kesalahan Pola Asuh
    Keluarga menjadi kunci yang membentuk pribadi seorang anak dan "rumah" baginya untuk selalu diterima apa adanya dengan cinta kasih.  Selain itu keluarga juga berperan penting membentuk emosi dan spiritual seorang anak.  Sehingga anak tidak tumbuh menjadi generasi rentan yang berujung nekat.  Tidak serta merta menyerah ketika dihimpit masalah.
  • Media Sosial/ Gadget
    Fakta mengerikannya di Indonesia dalam satu kali gen Z terpapar layar gadget hingga 150 menit.  Sementara di Jepang dan Singapura hanya 30 menit.  Bahkan Australia per Januari 2025 resmi mengeluarkan Undang-undang melarang anak di bawah usia 16 tahun menggunakan medsos.  Maka kondisi yang terjadi di Indonesia ini menjawab banyak generasi Z yang dihinggapi kesepian.  Mereka tenggelam atau sibuk dengan pertemanan di dunia maya.  Seolah banyak, sementara nyatanya di kehidupan sesungguhnya mereka sedikit memiliki teman.  Inilah yang menjadikan banyak gen Z menjadi pribadi tertutup, cenderung pendiam dan kesulitan berinteraksi.  Padahal manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi satu dengan lainnya.

Mengambil contoh kejadian tentang seorang mahasiswa memutuskan mengakhiri hidupnya karena merasa gagal pada pencapaian nilainya di kampus.  Mulus dan gemilangnya prestasi selama ini sejak SD hingga SMA menjadikannya tidak mengenal arti gagal.  Padahal langkahnya di dunia kampus barulah dimulai.  Sehingga harusnya tidak menjadikannya patah semangat untuk bangkit.  Bahwa dunia kampus memang lebih kompetitif dan keras.  Apalagi jika terkondisikan jauh dari orang tua.  Tentu dibutuhkan kemandirian dan daya juang yang lebih.

Lain cerita kita mendapati anak yang "terperangkap" dalam dunianya.  Dirinya tidak bisa membedakan dunia nyata dan maya dalam game gadgetnya.  Berteriak, membanting atau bahkan menyalahkan orang lain saat kalah.  Bukan tidak mungkin di pertumbuhannya nanti juga emosinya terganggu tidak siap menerima kegagalan.  Termasuk dampak buruk emosi anak terganggu dikarenakan kesehariannya hanyalah berkomunikasi dengan gadget yang notabene benda mati dan tidak menghadirkan kehidupan yang nyata.  Tidak ada interaksi sebagaimana harusnya makhluk sosial.

Berbeda cerita lagi ketika orang tua menempatkan diri sebagai dewa penyelamat yang berlebihan.  Katakanlah tidak menerima saat anak dihukum atau dikenai sanksi.  Kemudian serta merta datang ke sekolah, bahkan gantian menuntut guru/ lembaga pendidikannya.  Kemudian, contoh sederhana lainnya, ada orang tua yang menyalahkan lantai ketika anaknya jatuh.  Lantainya dipukul seolah lantai bersalah.  Padahal jatuh atau kecerobohan adalah hal wajar dalam tumbuh kembang anak yang nantinya menjadi koreksi dan membuatnya menjadi pribadi tangguh.

Tentu kita tidak dapat menghindari kemajuan zaman, dan generasi yang lahir tentunya tumbuh sesuai dengan zamannya.  Artinya, tidak bijak juga mendidik dan membesarkan anak ala kedua orang tuanya.  Melainkan haruslah dinamis.  Termasuk bahwa gen Z tumbuh di era teknologi adalah fakta yang harus diterima.  Artinya yang bisa dilakukan adalah tidak menjadikan kita budak teknologi.  Melainkan menjadikan teknologi alat membuka wawasan.  Tentu dengan batasannya.  Sebab kita ini hidup di dunia nyata.

Kemudian harus diingat, manusia berada di kasta tertinggi peradaban yang memiliki kehendak bebas dan berhikmat.  Di sinilah orang tua dan pendidik berperan mengenalkan untuk bijak dan tangguh.  Serta peka terhadap mereka gen Z dengan mau dan bersedia membersamai.  Menjadi teman, orang tua dan guru/ dosen yang asyik.  Jauh dari kesan menuntut ataupun menggurui.  Akhirnya, tidak kalah pentingnya untuk menjadikan kekuatan rohani sebagai benteng yang menguatkan.

Sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun