Beberapa waktu lalu saya terpukul mendapati di media sosial (medsos) TikTok anak usia Sekolah Menengah Atas (SMA) kesulitan menyebutkan nama negara di eropa. Â Bagaimana mungkin untuk pertanyaan ini si anak menjawab Garut, bahkan Indonesia sebagai negara di eropa? Â
Kemudian, hal yang sama dalam konteks yang berbeda juga terjadi ketika beberapa anak usia SMP dan SMA tidak bisa numerasi dasar Matematika? Â Tidak bisa menjawab 12 dibagi 3, yang harusnya sudah dikuasai sedari usia SD!
Sebagai orang tua, saya mengatakan kondisi ini tragis! Â Harus dan wajib menjadi kekhawatiran kita tentang bagaimana sesungguhnya kualitas pendidikan di negeri ini. Â Mengingatkan saya, tepatkah Merdeka Belajar untuk negeri ini, ataukah sebenarnya Merdeka Belajar justru diterjemahkan secara harafiah. Â Bebas merdeka tanpa tanggungjawab? Â
Polemik ini menandai krisis serius dunia pendidikan kita. Â Lihat saja saat Ujian Negara (UN) dihapus dan tidak adanya lagi sistem tinggal kelas. Â Serta merta ini bukan hanya kabar gembira untuk anak. Â Tetapi juga untuk orangtua! Â Kenapa demikian? Â Sebab ini artinya tidak ada yang perlu dipacu. Â
Soal masa depan, serahkan saja kepada arah angin! Â Sebab pendidikan menjadi ritual demi selembar ijazah kelulusan. Â Mungkin, begitulah kira-kira yang akhirnya terjadi.
Tragis, hanya segelintir anak yang kecewa saat UN dan sistem tinggal kelas dihapus. Â Menurut saya, merekalah anak-anak yang mempunyai mimpi dan berjuang untuk meraihnya. Â Tidak heran anak-anak inipun berjalan paralel dengan kemampuan literasi yang mumpuni. Â Bukan sekedar mengenal susunan aksara yang membentuk kata dan kalimat. Â Tetapi juga mengerti dan memahami makna yang tersirat. Â
Logikanya kini, bagaimana generasi negeri ini siap bertarung di dunia internasional. Â Sementara UNESCO mencatat literasi negeri ini menempati urutan ke 100 dari 208 negara di dunia yang literasinya rendah. Â Ini bukan narasi abal-abal tanpa fakta. Â Terbukti kekonyolan tersebut belum lama ini dipertontonkan di medsos oleh generasi pewaris negeri ini. Â Generasi yang nyatanya ditindas/ diperbudak oleh kemudahan digital dan mendewakan K-pop.
Sejatinya kita terusik oleh ketidakwajaran ini. Â Tidak boleh kita biarkan dan membenarkan kebodohan. Â Faktanya pendidikan adalah kunci menuju peradaban yang lebih maju. Â
Maka setidaknya mulailah menjelajahi dunia dengan membaca. Â Adapun dukungan dan langkah diperlukan dalam hal ini, yaitu:
* Orangtua, sebab pendidikan anak diawali dari keluarga. Â Tanpa dukungan keras orangtua, pendidikan di sekolah tidak akan membawa hasil optimal.
* Membangun budaya membaca yang diawali oleh kedua orangtua sebagai contoh nyata anak
* Membangun komunikasi dan menanamkan mimpi kepada anak
* Kenali diri dan bereksplorasi untuk menemukan berbagai profesi pilihan ataupun cita-cita
* Menjadikan ruang digital sebagai sarana belajar yang positif
Akhirnya catatan untuk kita, pendidikan bukan semata aksara dan angka. Â Melainkan tentang menggali potensi diri agar bermanfaat bagi banyak orang dan terlepas dari ketertindasan karena kebodohan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI