Meningkatnya lonjakan Omicron memaksa sejumlah sekolah kembali melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Â Jujur sejak awal kondisi ini sudah sangat bisa dibaca. Â Seperti bom waktu yang cepat atau lambat akan meledak.Â
Sehingga sangat tidak mengerti ketika mendadak setelah liburan Natal Tahun Baru (Nataru) Nadiem Makarim Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia dan payung hukum SKB 4 Menteri meminta "wajib" sekolah kembali tatap muka 100 persen. Â Terbukti, satu demi satu sekolah terpaksa melakukan karantina karena terjadinya kasus.
Kenapa? Â Inilah beberapa alasannya:
- Bahwa pandemi belum di kondisi aman, terbukti dari lonjakan kasus
- Kondisi ruang kelas tidak  memungkinkan cukup berjarak
- Transportasi warga sekolah baik peserta didik dan tenaga pendidik riskan untuk tidak terpapar
- Rendahnya kesadaran warga sekolah mengenali gejala Covid
- Rendahnya kepedulian warga sekolah untuk saling menjaga
- Sikap meremehkan, cuek dengan alibi jangan panik
Konon pertimbangan PTM 100 persen karena vaksin terbilang sudah cukup menjangkau anak usia sekolah, dan yang paling dikhawatirkan adalah "loss of learning" atau generasi yang kehilangan kesempatan untuk belajar.
Mas Menteri ada benarnya, mengingat kondisi negeri ini cukup tertinggal dari sisi teknologi, dan jika menyoal internet maka tidak semua daerah bisa mengakses internet, belum lagi persoalan kuota. Â Tetapi, nyaris 3 tahun pandemi menghantam negeri ini, seharusnya sudah banyak perubahan yang terjadi dari sisi infrastruktur dengan keberadaan tol langit.
Kemudian sejumlah suara juga mengatakan, "Buktinya anak-anak banyak beredar di mall, ikut orang tua mereka.  Jadi, kenapa harus khawatir ke sekolah."  Belum lagi sejumlah suara  mengatakan tidak sanggup jika harus mengawasi anak belajar di rumah.  Kira-kira begitulah, pro-kontra, dan itu lumrah.  Meski tidak adil, karena ada banyak anak juga yang diam di rumah dan memilih untuk berjuang belajar mandiri.
Pertanyaannya kini, masih dan apakah benar PJJ "biang kerok" loss of learning? Â Sebab, ada hal lain yang harusnya membuka mata kita bahwa nyatanya banyak keberadaan atau niat anak-anak belajar di dalam kelas selama ini bukan atas dasar keinginan belajar. Â Miris, maaf rupanya ibarat bocah kecil yang akan kenyang jika disuapi guru.
Bahkan, mengutip beritasatu.com seorang pengamat pendidikan, Indra Charismiadji beranggapan bahwa pelaksanaan PJJ dapat menyebabkan loss of learning tidak dapat dibenarkan.
"Loss of learning itu sudah ada di bangsa ini sebelum adanya pandemi. Bedanya, sekarang ini kelihatan. Orang tua yang selama ini tidak melihat anak belajar di sekolah, jadi melihat ketika mendampingi anak di rumah," kata Indra kepada Suara Pembaruan, Senin (25/1/2021). Â Dikutip dari: beritasatu.com
Bukan rahasia, banyak orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah, bermimpi seolah lulus sudah jadi professor. Â Ibaratnya, melepaskan tanggungjawab ke sekolah, memastikan si anak mengerti pelajaran. Â Tidak heran jika pandemi membuat banyak orang tua "koor" tidak kuat. Â Ini lucu, karena yang mereka hadapi itu sebenarnya anak sendiri.